A Treassure Hunt in the Jungle

PADA suatu hari ada tiga orang sahabat yang menjelajahi hutan untuk menyelesaikan misi Treasure Camp. Yang bertugas menyelesaikan misi tersebut adalah Tono, Toni, dan Tino. Mereka begitu menikmati perjalanan. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Ketika hari mulai gelap, mereka bertiga mulai mencari tempat untuk istirahat.

Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada air terjun yang suaranya bergemuruh. Tono melihat ada mulut goa di sebelahnya. Mereka pun mendatangi goa itu. Goa itu besar dan cukup gelap. Mereka pun memutuskan untuk beristirahat di sana.

Keesokan paginya, sebagai pemimpin, Tono mengeluarkan trompetnya untuk membangunkan Toni dan Tino,

“Troooonnnn……” Baru satu tiupan Tono tersadar bahwa Tino sudah tidak ada di tempatnya berbaring semalam.

“Mungkin Tino sedang buang air kecil,” kata Toni mencoba menenangkan Tono.

Tanpa diketahui oleh Tono dan Toni, sejak awal Tino sudah berencana menghalangi perjalanan mereka. Semalam Tino tidak tidur sama sekali. Ia membuat perangkap supaya Tono dan Toni terjebak di goa. Tino menggali parit dan mengalirkan arus air dari air terjun sebelah untuk menutup mulut goa. Tono dan Toni berlari ke mulut goa untuk mencari Tino, tapi di depan air sudah mulai menggenang dan mengalir ke tempat mereka tidur.

Tino sudah pergi jauh meninggalkan goa dengan percaya diri.

Di goa, air sudah hampir mencapai langit-langit. Tono pun berusaha mencari ide agar bisa mengeluarkan mereka berdua. Tono melihat ada cahaya masuk di pojok langit goa. Ternyata ada lubang yang mengarah ke atas. Tono kemudian mengeluarkan rompi pelampung yang sudah ia bawa dari rumah. Mereka meniupnya dan memakainya bersama-sama. Tono menenangkan Toni supaya tidak panik. Yang harus mereka lakukan adalah menunggu air memenuhi goa sehingga mereka bisa mengambang dan sampai di lubang langit-langit goa.

Ketika air sudah penuh, mereka merangkak masuk ke lubang langit goa itu.

Sesampainya di atas goa, mereka melihat ke sekeliing.

“Apa Tino terseret air terjun ke bawah semalam?” Toni ketakutan.

“Tenanglah. Kita ikuti saja arus sungai itu. Barangkali Tino masih hidup dan sedang menepi di bibir sungai.” Tono mencoba menenangkan Toni.

Setelah mengemasi barang-barang yang tersisa, mereka pun melanjutkan perjalanan. Sementara itu dari kejauhan, Tino yang sedang istirahat melihat dua bayangan kecil berdiri di atas goa.

“Astaga mereka selamat. Mereka akan tahu jika aku meninggalkan mereka. Aku harus cepat-cepat melanjutkan perjalanan.” Tino panik.

Di tengah perjalanan, Tono melihat Toni kelelahan.

“Kita istirahat dulu di sini,” ajak Tono.

“Tapi kita harus segera menemukan Tino,” protes Toni.

“Kau butuh istirahat dan makan. Aku tidak ingin kehilangan sahabatku lagi.” Tono mulai mengeluarkan roti dari tasnya.

Mereka pun beristirahat di bawah pohon yang teduh. Tanpa mereka sadari hari sudah mulai senja. Mereka berdua pun mulai mendirikan tenda. Keesokan paginya ketika Tono hendak buang air kecil di semak-semak, dia melihat sebuah tenda berwarna kuning.

“Itu sepertinya tenda milik Tino. Aku harus cepat-cepat membangunkan Toni.” Tono berlari menjemput Toni.

Setelah membangunkan Toni, mereka mengendap-endap mendekati tenda kuning itu. Mereka mesti waspada. Bisa jadi itu tenda milik pemburu atau penebang liar.

“Krekkk.” Tak sengaja Toni menginjak ranting pohon kering.

“Shhh … hati-hati,” bisik Tono.

Toni hanya mengangguk.

Seseorang dari dalam tenda berdiri. Bayangannya nampak dari luar karena tendanya berwarna terang.

“Tino?” Teriak Tono dan Toni ketika seseorang itu keluar dari tenda.

Toni langsung lari dan memeluk tubuh Tino erat-erat.

“Syukurlah kau selamat.”

Ya ampun mereka kok bisa tahu aku ada di sini. Padahal aku sudah berjalan cukup jauh. Sepertinya aku harus menggunakan cara lain untuk bisa menghentikan mereka berdua lagi,” batin Tino.

Setelah menceritakan kejadian yang masing-masing mereka alami, Tino meminta izin untuk buang air kecil sebelum jalan lagi. Tono juga segera membereskan tenda supaya bisa lekas melanjutkan perjalanan.

“Toni coba awasi Tino. Aku takut terjadi apa-apa lagi. Aku tak mau kehilangan dia lagi.“

Toni pun diam-diam mengikuti Tino.

Tak jauh dari tenda, Toni mendapati Tino sedang menggali lubang besar yang nampaknya sudah ia siapkan sebelumnya.

Setelah melihat itu, Toni lari menemu Tono.

“Tino sedang menggali lubang di depan. Aku yakin ia sedang membuat jebakan untuk mencelakai kita.”

“Apa kamu yakin?” Tono masih belum percaya.

“Bagaimana bisa Tino selamat jika benar-benar terseret sungai yang deras itu. Dia sepertinya sengaja meninggalkan kita di goa. Kamu kemarin juga melihat sendiri parit di muka goa terlihat masih baru. Mungkin itu ulah Tino.” Toni berusaha meyakinkan Tono.

Tono duduk dan berpikir sejenak. “Jika memang benar apa katamu, kita diam saja. Kita lanjutkan perjalanan tapi kita mesti hati-hati saat melewati lubang yang ia buat.”

Toni merasa tidak setuju. Tindakan Tino harusnya tidak dibiarkan begitu saja karena bisa mengancam nyawa orang lain. “Sebaiknya kita tangkap Tino sekarang juga. Kita pergoki dia saat masih di dalam lubang. Supaya dia tak bisa membuat alasan.”

“Tenanglah. Bagaimanapun juga Tino adalah sahabat kita.” Tono berusaha menenangkan Toni.

Tak berapa lama kemudian, Tino datang. Setelah mereka membereskan tenda, mereka langsung melanjutkan perjalanan mumpung masih pagi. Dalam perjalanan, mereka bercanda seperti biasanya.

Tiba-tiba Tino menyarankan jalan pintas yang menurutnya lebih mudah dan cepat. Di situ Tono semakin yakin bahwa Toni benar. Tino diam-diam sudah menyiapkan jebakan di depan. Namun Tono tetap tenang. Mereka mengikuti jalan yang disarankan oleh Tino.

Sebelumnya saat masih di tenda, Tono menyuruh Toni untuk berjalan mengikuti langkah Tino. Mengekor seperti iring-iringan semut. Tino di depan, di belakangnya Tono dan Toni.

“Kenapa kalian berjalan di belakangku? Di samping kan jalannya masih luas.” Protes Tino.

“Aku dan Toni sedang bermain Ikuti Jejak. Kita akan mengikuti jejak kakimu. Yang gagal nanti harus membawakan tas yang menang. Nanti kita gantian. Sekarang kamu yang jadi kepala, ya.” Tono menjelaskan.

Tino kesal karena dia harus berjalan di depan. Artinya ketika sampai di lubang yang sudah ia siapkan, dia yang akan terperosok ke lubang duluan. Bukan Tono dan Toni.”

Setelah beberapa langkah, tibalah mereka di dekat lubang yang sudah Tino rancang. Lubang itu ditutupi penutup dan tanah sehingga tak tampak mencurigakan sama sekali. Tiba-tiba Tino berhenti.

“Belum ada yang kalah?” Tino menoleh ke belakang agak tegang.

Tono dan Toni saling berpandangan. “Belum. Ayo lanjut jalan.”

Tino masih belum melangkahkan kakinya. Ia mulai sadar bahwa ada yang aneh. Sepertinya Tono dan Toni sudah tahu jebakan yang ia buat. Tino tak bisa mengelak lagi. Ia terduduk dan memohon pada Tono yang masih berdiri di belakang.

“Maafkan aku. Tolong jangan lempar aku ke dalam lubang itu.”

“Kenapa kamu menjebak kami? Kamu hampir membunuh kami saat di goa. Hanya karena mau menguasai harta karun itu sendirian kamu mengorbankan sahabatmu sendiri. Jangan tamak kamu.” Toni marah dan hampir mendorong Tino ke lubang tapi ditahan oleh Tono.

“Sudahlah. Kita maafkan Tino. Dia sahabat kita. Kita sudah berjanji untuk membagi harta karun itu bertiga dan menikmatinya bersama-sama. Apa artinya keberhasilan jika tidak bisa dirayakan dan dinikmati bersama sahabat?” Tono menahan tangan Toni dan menarik tangan Tino. Tono menumpuk tangan mereka seperti saat awal berangkat.

“Semangat! Kita bisa! Bersama-sama!”

Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan tekat yang lebih kuat dan hati yang lebih gembira.

*Cerita ini merupakan tulisan siswa Cirro Cumulus School of Life Lebah Putih Salatiga dalam proyek menulis buku bertema petualangan pada tahun ajaran 2021-2022. Seluruh ide cerita dan gambar merupakan karya orisinil penulis. Pendampingan penulisan dan editing berkerjasama dengan komunitas lintasastra.

Adhikari Rafay Aqil Subekti

Adhikari Rafay Aqil Subekti

Hai teman- teman, namaku Rafay dan nama lengkapku adalah Adhikari Rafay Aqil Subekti. Aku punya hobi yang lumayan banyak, ada berenang, bermain game, dan banyak lagi. Aku juga punya adik yang bernama Aksa. Nama orangtuaku adalah Agus Subekti dan Yusi Triana.

Aku sekarang tinggal di kota Salatiga, dan tinggal di Dusun Kalangan. Tanggal lahirku adalah 26 oktober 2009. Aku sekarang duduk di kelas 6 atau juga disebut Cirro Cumulus.

Bagikan tulisan ini:

Kirim Naskahmu

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

TERPOPULER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contact Info

Copyright © 2022. All rights reserved.

error: Content is protected !!