Mobil Terbang

JOVI, Raka, dan Haqi. Mereka adalah 3 orang sahabat yang bersekolah di sekolah yang sama dan mempunyai hobi yang sama pula, yaitu bermain layang-layang dan Playstation. Suatu ketika saat libur sekolah mereka sepakat untuk bermain layangan di lapangan, yang letaknya tidak jauh dari rumah Jovi. Di dekat lapangan, Raka tak sengaja menginjak sebuah benda.

Raka pun mengangkat kaki kirinya dan bergumam “Apa ini? Seperti kunci lemari.”

Tanpa pikir panjang Jovi langsung mengambil dan memperhatikan kunci tersebut.

“Aku harus pulang. Siapa tahu kunci ini bisa membuka lemari nenek,” batin Jovi.

“Teman-teman, Aku mau pulang. Sepertinya aku menemukan kunci lemariku. Kalian mau ikut atau menunggu di sini?” tanya Jovi.

“Yaudahlah, kita main Playstation saja di rumahmu,” usul Haqi.

Sesampainya di rumah Jovi, mereka langsung masuk ke kamar. Raka dan Haqi langsung menghidupkan Playstation. Sementara Jovi sibuk memasukan anak kunci yang ia temukan ke dalam lubang kunci lemari tua itu.

“Aku sudah lama ingin membuka lemari ini. Ini lemari milik nenekku. Katanya suruh disimpan di kamar saja. Aku sudah pernah protes karena bikin sesak kamarku. Toh, tak bisa dipakai karena pintunya terkunci. Tidak ada yang tahu kuncinya di mana,” jelas Jovi.

Setelah beberapa kali mencoba, terbukalah pintu lemari tersebut.

“Berhasil!”

Mereka bertiga kaget karena silau. Dari dalam lemari muncul cahaya yang sangat terang. Tubuh mereka tiba-tiba tersedot ke dalam.

“Aaaaaa ….”

Mereka terhempas dan jatuh di semak-semak.

“Di mana ini?” Haqi jatuh terlentang di atas rumput kering.

Jovi membangunkan Raka yang tersungkur di sebelahnya. “Kau baik-baik saja?”

“Panas sekali.” Raka mengelap lehernya yang tiba-tiba saja basah keringat.       

Sejauh mata memandang mereka hanya melihat gedung-gedung tinggi yang dilapisi kaca. Tak ada pohon sama sekali. Udaranya juga kotor.

“Aku pernah melihat tempat ini di game.” Haqi mencoba meyakinkan teman-temannya. Mereka bertiga larut dalam pikiran mereka masing-masing.

Tiba-tiba seorang anak perempuan sebaya mereka mendekat, ”Hallo perkenalkan namaku Aira. Rumahku tidak jauh dari sini. Kalian dari mana?”

“Namaku Jovi, ini temanku Raka dan Haqi. Kami dari …” Haqi menyenggol tangan Jovi. Mereka belum yakin ini dunia apa. Bisa jadi perempuan ini tidak baik.

“Di mana ini?” potong Raka.

Aira memandangi mereka bertiga dengan tatapan aneh. Tidak mungkin ada orang yang tak tahu kota ini. “Ini kota Metrol. Kalian tak tahu?”

“Planet apa ini?” sambung Jovi.

“Kau pikir apa? Planet krypton? Ayo ke rumah Superman. Haha … ” ejek Haqi.

“Tentu saja planet Bumi. Ayolah, kalian jangan bercanda. Kalian dari kota mana?” Aira mulai kesal.

Jovi, Raka, dan Haqi saling berpandangan. “Apa itu planet Bumi?”

“Bumi. Bagaimana bisa kalian tidak tahu planet kalian sendiri?” Aira makin kesal.

“Kami dari planet WB.”

“Apa itu planet WB?”

Mereka berempat saling berpandangan. “Planet White Bee. Kami dari planet White Bee.”

Dalam benaknya, Aira mulai tertarik dengan mereka. Ia sangat suka teknologi. Semuanya mulai nampak jelas. Tiga orang tersebut sepertinya memiliki mesin teleportasi.

“Jadi kalian datang dari planet lain?” tanya Aira.

”Bisa jadi.” Mereka pun juga tak yakin.

“Baiklah kalau begitu. Selamat datang di kota Metrol.” Aira mengangkat kedua tangannya tanda menyambut. “Ceritakan kota di tempat kalian?”

“Di tempat kami orang-orang banyak menggunakan sepeda untuk alat transportasi.” Jovi menjelaskan.

”Wah, aku bisa membayangkan betapa segarnya udara di sana. Aku jadi ingin berkunjung ke planet kalian.” Aira makin penasaran.

”Kalian bertiga menginaplah di rumahku. Besok aku akan mengajak kalian berkeliling kota.” Ajak Aira.

“Ayo pulang saja. Aku tidak boleh menginap di rumah orang. Ibuku pasti mencariku.” Bisik Raka di telinga Jovi.

“Tenanglah. Ibumu tidak mungkin menemukan kita di sini. Kita juga belum tahu bagaimana caranya pulang.” Jovi mencoba menenangkan.

Mereka bertiga pun berjalan mengikuti Aira.

Sesampainya di rumah Aira, mereka disediakan kamar untuk tidur. Mereka pun memutuskan untuk bermalam.

”Bangun.” Haqi menggerak-gerakan badan Jovi.

“Aghh …! Mataku masih terasa berat.”

“Ayo, Jov! Jangan malas-malasan! Bukankah hari ini kita akan jalan-jalan bersama Aira?”

Sontak Jovi bangkit berdiri dan bergegas ke kamar mandi. Tak berapa lama kemudian mereka bertiga siap turun ke lantai bawah dan menemui Aira untuk membahas rencana hari ini.

Akhirnya mereka berempat pergi dengan mengendarai mobil. Awal perjalanan lancar-lancar saja, namun  satu jam kemudian perjalanan mereka terhenti. Di sepanjang jalan banyak kendaraan hingga tampak mengular.

“Ada apa ini? Kecelakaan? Kenapa tersendat?”  tanya Raka.

“Oh ini pemandangan yang sudah biasa di kotaku.”

Jovi, Raka, dan Haqi hanya terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Di sepanjang jalan, mereka tidak melihat orang mengendarai sepeda.

“Tingkat polusi di sini pasti tinggi ya?” Raka memecah keheningan.

“Bukankah ini berbahaya untuk pernapasan?” sambung Jovi. “Belum lagi pemakaian bahan bakar secara terus menerus bisa mengurangi cadangan minyak, lama kelamaan pasti akan habis juga.”

Aira hanya terdiam. Ia merasa ikut turut andil dalam kemacetan dan penggunaan bahan bakar itu. Ia tak bisa membela diri. Aira tahu ada yang salah dengan kota ini tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Keesokan harinya saat mereka bercengkrama dan berbincang-bincang di teras, Jovi menyampaikan idenya, “ Aku ingin menciptakan mobil terbang. Mobil yang bisa menghindari kemacetan, yang dilengkapi dengan baling-baling di bagian atapnya, dapat mendarat di mana saja tanpa perlu landasan pacu.”

Semua orang saling berpandangan.

“Ohya, bertenaga listrik. Tak boleh ada lagi bahan bakar fosil! Jika orang-orang tak mau mengayuh sepeda, setidaknya jangan membuat polusi.”

“Kenapa berbahan bakar listrik?” tanya Aira.

“Supaya bisa mengurangi polusi udara. Suatu saat cadangan minyak akan habis. Iya kan?” Sambung Haqi. “Tapi aku tidak setuju. Listrik tetap membutuhkan batu bara. Orang-orang menambang jutaan lahan hektar hutan hanya untuk batu bara. Lebih baik bertenaga air.”

“Tapi air sangat beharga di sini,” sambung Aira.

“Ya. Aku tidak setuju jika air. Air sangat berharga. Air adalah kehidupan. Tak boleh dieksploitasi.” Jovi kekeh.

Semalam suntuk kedua sahabat ini berdebat mempertahankan pendirian dan ide mereka masing-masing. Akhirnya Jovi pun kesal dan pergi meninggalkan mereka bertiga. Haqi, Raka dan Aira saling berpandangan satu sama lain, karena tidak menyangka perdebatan ini membuat Jovi marah dan tersinggung.

“Aku tidak bermaksud membuatnya marah dan menyainginya! Dianya saja yang terlalu sensitif dan maunya menang sendiri!” Haqi membela diri.

Aira berusaha menenangkan Haqi yang sedang emosi. Ia memberikannya segelas air putih. “Duduklah dan minumlah agar hati dan pikiranmu tenang.”

Tak jauh dari sana, Raka beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar Jovi. Raka mengetuk pintu kamar, tok tok tok “Aku Raka. Apa aku boleh masuk?”

“Sebetulnya apa yang membuatmu marah dan kesal pada Haqi? Bukankah Haqi tidak sepenuhnya salah. Dia hanya ingin menceritakan idenya saja.”

“Aku hanya tidak suka melihat Haqi sok pintar seperti itu,” sahut Jovi acuh.

“Setiap orang mempunyai kebebasan dalam berpendapat. Aku tahu dan percaya bahwa kamu lebih pintar di banding Haqi. Tapi ada satu hal yang kamu lupa bahwa kita bertiga adalah sahabat sejak kecil dan kita telah berjanji sampai kapan pun akan tetap menjadi sahabat.”

Jovi terdiam dan hanya menundukan kepalanya. Semalaman ia hanya memandang ke luar jendela. Di luar kabut debu tebal menutup pandangan. Polusi udara semakin parah. Orang-orang nampak mulai terserang sakit pernapasan. Terutama anak-anak.

Esoknya, Raka masuk ke kamar Jovi lagi.

Raka menepuk pundak Jovi, “Turunlah. Haqi dan Aira menunggumu di bawah.”

Orang-orang sudah berkumpul di ruang tengah mematangkan rencana yang kemarin sempat tertunda. Jovi pun beranjak dan turun ke bawah.

“Kita akan menggunakan bahan bakar air laut!” Jovi mengejutkan semua orang.

“Air laut mengandung senyawa air (H2O) 96,5 persen dan natrium klorida (NaCI) 3,5 persen. Bercampurnya NaCI dan H2O dapat menghasilkan Na+  dan  CI-.  Natrium klorida atau garam dapat dijadikan larutan elektrolit atau zat yang dapat membentuk ion-ion atau atom yang memiliki muatan listrik. Tak perlu pakai batu bara, tak perlu menambang lahan hutan, tak perlu memakai air konsumsi kota, air laut paling melimpah dan ramah lingkungan,” sambungnya.

“Kamu benar. Dengan kata lain kamu mengkombinasikan air dan listrik. Itu dua ide kalian berdua sebelumnya.” Aira menatap ke arah Jovi dan Haqi dengan takjub.

“Pada akhirnya berbeda tak berarti buruk. Kita hanya perlu mengkombinasikannya.” Raka tersenyum.

Haqi dan Jovi melakukan tos tanda berdamai.

“Lalu bagimana caranya kita membangun mobil terbang itu?” tanya Raka.

“Jangan khawatir pamanku adalah profesor teknik. Kita akan menyampaikan ide cemerlang ini.” Aira meyakinkan.

“Baiklah. Kami akan membuat desainnya dulu. Setelah itu kita akan menemui pamanmu.”

Tanpa mengulur waktu Jovi dan Haqi mendesain mobil tersebut. Dan atas kesepakatan bersama mobil tersebut didesain dengan menggunakan satu baling-baling dan berbahan bakar air laut.

Tiba waktunya mereka berkunjung ke rumah Prof. Haryo dan membawa hasil desain mereka. Mereka disambut hangat oleh Prof. Haryo. Mereka menyusun jadwal pembuatan dan perakitan mobil tersebut. Prof. Haryo mengerahkan anak buahnya untuk membantunya.

Hari berganti hari. Tidak terasa mobil terbang telah jadi dan siap untuk digunakan. Prof. Haryo mengundang ketiga teman Aira untuk datang dan melihat mobil tersebut.

“Sungguh menakjubkan!” Jovi dan Haqi menatap Prof. Haryo kagum.

Hasilnya sesuai dengan impian mereka. Setelah melihat-lihat mobil tersebut Prof. Haryo mengajak mereka untuk menguji coba kendaraan tersebut. Jovi, Raka, Haqi, dan Aira sangat kagum dan senang karena tidak menyangka impian mereka bisa terwujud.

Mobil terbang ini sangat bermanfaat. Orang-orang jadi bisa berhemat waktu, tenaga, dan biaya. Tingkat polusi juga menjadi rendah karena berbahan bakar air. Dengan begitu semua orang di kota bisa lega untuk menghirup udara yang bersih.

Tak terasa mereka bertiga telah menghabiskan waktu berminggu-minggu di planet Bumi itu. Mereka harus segera pulang. Tetapi mereka bertiga tidak tahu bagaimana caranya pulang ke rumah. Aira yang mengetahui hal ini menceritakan kepada pamannya. Ketika diceritakan, Prof. Haryo langsung menunjukan alat yang pernah ia cipatakan cukup lama. Alat itu bisa mendeteksi energi kosmik yang melintas. Alat itu bisa melacak posisi awal mereka bertiga masuk ke planet Bumi. Di titik koordinat itu, jika seseorang berdiri tepat pada posisi, ia akan langsung tersedot.

Dan benar saja, ketika mereka bertiga diarahkan Prof. Haryo menuju titik itu, mereka langsung tersedot dan terlempar ke kasur. Jovi buru-buru mengunci lemari itu supaya tak tersedot kembali. Mereka saling berpandangan dan tersenyum lega karena merasa senang bisa berpetualang dan dapat pulang kembali dengan selamat.

“Ah, kita belum berpamitan dan mengucapkan terima kasih tadi.”

*Cerita ini merupakan tulisan siswa Cirro Cumulus School of Life Lebah Putih Salatiga dalam proyek menulis buku bertema petualangan pada tahun ajaran 2021-2022. Seluruh ide cerita dan gambar merupakan karya orisinil penulis. Pendampingan penulisan dan editing berkerjasama dengan komunitas lintasastra.

Muhammad Arief Indras Purnomo

Muhammad Arief Indras Purnomo

Hallo man teman perkenalkan namaku Muhammad Arief Indras Purnomo. Keluarga dan teman-teman biasa memanggilku dengan sebutan Apip. Cianjur adalah kota kelahiranku. Dan aku bersekolah di School of Lebah Putih. Sekarang aku duduk di bangku kelas 6.

Bermain skateboard dan memotret adalah suatu kegiatan yang membuat aku happy karena itu adalah hobiku dan jika besar nanti aku ingin menjadi seorang fotografer yang terkenal.

Bagikan tulisan ini:

Kirim Naskahmu

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

TERPOPULER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contact Info

Copyright © 2022. All rights reserved.

error: Content is protected !!