Si Jenius dan Si Iri Hati

SUATU hari saat Ara sedang berada di toko pertanian, dia tidak sengaja bertemu dengan Ere.

“Maaf apakah kamu Ere?” tanya Ara.

Ere menoleh, “Iya benar. Aku Ere.” Ia masih berusaha mengingat-ingat siapa orang yang berdiri di depannya itu.

“Ere! Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Aku Ara. Inget gak?” Ara menggenggam kedua tangan sahabat masa kecilnya itu.

 “Oh ya? Kamu beneran Ara? Udah lama banget tidak ketemu. Apa kegiatanmu sekarang?” tanya Ere penasaran.

“Aku mengelola lahan pertanian, Ere.” jawab Ara.

“Oh ya? Aku juga sedang mengelola lahan pertanian. Bolehkah aku main ke lahan pertanianmu?” Ere girang.

“Tentu saja.” Ara menyodorkan alamat dan nomor teleponnya kepada Ere.

Ara langsung pamit karena harus segera membawa pulang pupuk cair yang baru saja ia beli.

Beberapa hari setelah itu Ere menghubungi Ara. Dia merasa penasaran dengan alat yang dipakai Ara di lahan pertaniannya dan ingin melihatnya langsung. Ara dengan senang hati menyambut teman masa kecilnya itu.

“Selamat datang di lahan pertanianku, Ere,” sambut Ara.

“Wah …” Ere takjub melihat lahan luas di sekelilingnya.

Ara mengajak Ere berkeliling untuk melihat mesin-mesin otomatis di pertaniannya. Sangat canggih karena mesin-mesin itu bisa menanam dan memanen secara otomatis. Timbul rasa iri di dalam hati Ere. Ia juga ingin memiliki mesin-mesin pertanian seperti itu.

“Bagaimana kamu bisa membuat alat-alat seperti itu, Ara?” tanya Ere penasaran.

“Aku suka membuat eksperimen. Aku yang merancang mesin-mesin itu sendiri.” Ara menunjukan mesin pemetik buah apel otomatis yang tak jauh dari sungai.

“Bolehkah aku melihat gambar rancangan mesin-mesin itu, Ara?” Ere merasa penasaran.

“Tentu saja,” jawab Ara.

Mereka berdua pun pergi menuju kantor Ara yang terletak tidak jauh dari lahan pertanian. Setibanya di kantor, Ara memperlihatkan gambar rancangannya.

Ere mengamati dengan seksama gambar rancangan itu. Rasa iri semakin besar di dalam hatinya. Dia semakin ingin memiliki gambar rancangan itu. Ide rancangan yang Ara ciptakan sangat menakjubkan dan orisinil.

“Bagus sekali rancangannya. Bagaimana caranya aku bisa memilikinya? Aku tidak mungkin memintanya langsung pada Ara, batin Ere.

Tiba-tiba telepon kantor berdering. Ara bergegas mengangkatnya dan berbicara dengan seseorang di telepon. Setelah selesai berbicara di telepon Ara tiba-tiba berkemas, “Maaf Ere. Ada yang harus aku cek sebentar di gudang. Apakah kamu keberatan jika aku tinggal dulu sebentar?”

“Oh silakan Ara. Aku akan menunggu di sini.” Ere tersenyum.

Setelah Ara keluar dari ruangan tersebut, Ere segera mengambil ponselnya dan memfoto gambar rancangan Ara.

Beberapa saat kemudian Ara datang. Dia meminta maaf karena ada hal mendesak yang harus dia kerjakan sehingga dia tidak bisa menemani Ere lebih lama lagi. “Maaf Ere.”

“Tidak apa-apa, Ara. Aku berterima kasih karena sudah mau mengajakku melihat-lihat” Ere bangun dari tempat duduknya.

Ara pun mengantar temannya keluar.

“Terima kasih sudah main ke tempatku Ere. Pintuku selalu terbuka untukmu.” Ara menggenggam tangan Ere di pintu gerbang luar.

Ere tersenyum. Mereka pun bersalaman dan berpisah.

Setibanya di kantor, Ere mengeluarkan ponselnya. Diamatinya gambar rancangan itu dengan hati-hati. Dia masih merasa heran bagaimana Ara mampu merancang mesin-mesin itu sendiri. Ia lalu menghubungi seseorang. Orang yang menurutnya paling paham tentang mesin.

 

Dua tahun kemudian.

Sudah dua tahun berlalu semenjak dua teman masa kecil itu bertemu. Ara saat itu sedang berjalan-jalan di sebuah desa. Lalu tibalah dia di sebuah lahan pertanian yang sangat luas. Dia merasa heran karena dia melihat alat-alat pertanian di lahan itu mirip seperti miliknya. Ketika ia melihat-lihat lahan pertanian itu dari luar, alangkah terkejutnya ketika ia mendapati Ere sedang bicara dengan seorang pekerja di dalam.

Ara pun langsung masuk dan menghampiri Ere. “Ere!”

Sontak Ere terkejut.

“Lahan pertanian milik siapa ini? Mengapa alat-alat pertanian di lahan ini sama seperti milikku?” tanya Ara tergesa-gesa.

“I-ini lahanku.” Ere tergugup.

“Bagaimana kamu bisa membuatnya?” Ara naik pitam.

Ere terdiam, tidak menjawab. Ia merasa malu.

Ara kembali bertanya, “Kamu menyontek rancanganku?”

Ere masih menunduk.

“Jika kamu menginginkan rancangan itu, kamu seharusnya memintanya langsung padaku.” Ara menatap tajam mata Ere.

“Aku malu.” Ere menjawab pelan.

“Mengapa harus merasa malu? Tertangkap basah seperti ini yang akan membuatmu malu. Sebagai teman sudah seharusnya kita saling membantu. Aku akan dengan senang hati berbagi rancanganku kepadamu, Ere.” Ara menggengam kedua tangan Ere.

Ere masih terdiam.

Ara kembali bertanya, “Apakah kamu juga mematenkan rancangan mesin ini?”

 “Iya Ara. Maaf” Ere tak berani menatap mata Ara.

Ara kembali naik pitam, “Teganya kamu.”

Ere diam tidak bisa menjawab.

Dari kejauhan seorang paruh baya menghampiri mereka dan bertanya, “Ada apa? Kenapa bertengkar? Kamu siapa?” Lelaki itu melihat Ara.

“Saya Ara. Om siapa?” Ara masih kesal.

Lelaki itu menjawab, “Saya ayahnya Ere. Ada apa ini?”

“Anak Om mencuri rancangan mesin pertanian saya dan mematenkannya.” Ara melihat ke arah Ere dengan marah.

Ayah Ere terkejut. “Apa benar, Ere? Mengapa kamu melakukan itu? Itu melanggar hukum. Sekarang kamu harus bertanggung jawab.”

“Tapi kan alatnya sudah saya modifikasi, Yah. Tidak sama persis seperti milik Ara.” Ere membela diri.

“Tapi ide awal dari alat ini kan Ara yang membuat. Seharusnya kamu minta ijin pada Ara saat ingin memodifikasinya. Kamu tidak meminta ijin dan kamu juga mematenkannya. Itu perbuatan yang sangat tidak baik, Ere.” Ayah Ere mencoba menasihatinya dengan kepala dingin.

“Untuk apa saya meminta ijin, Yah. Kan alatnya tidak sama persis seperti milik Ara.” Ere semakin kesal.

“Kamu harus membayar sebagian hak paten pada Ara atau kamu harus membatalkan dan mengembalikan hak paten mesin itu kepada Ara.” Ayah Ere memegang kedua bahu Ere.

“Om, saya akui. Mesinnya memang jadi lebih canggih dari mesin milik saya. Meski cara kerja dasarnya hampir sama, mesin yang dimodifikasi oleh Ere jadi lebih efisien dan ramping. Ere pasti sudah berusaha keras memodifikasinya. Memang dia salah karena tidak meminta ijin saat mengadopsi rancanganku, tapi Ere tetap seorang jenius. Saya bersedia membagi hak paten rancangan mesin itu berdua. Pada dasarnya, kami yang membangun mesin itu berdua.” Ara meraih kedua tangan Ere lagi. Ia merasa bangga pada sahabat kecilnya itu.

“Sekarang kamu harus meminta maaf kepadanya, Ere.” Ayah Ere menatap kedua mata Ere dengan lembut.

“Jangan kamu ulangi lagi perbuatan tidak jujur seperti itu, Ere. Kamu tidak perlu merasa malu untuk belajar dari orang lain.“ Ara menambahi.

“Iya, Ara. Aku minta maaf. Apa yang kulakukan memang salah. Semoga kamu mau memaafkanku.” Ere merasa menyesal.

“Aku memaafkanmu asal kamu mau membantuku merancang mesin baru bersama-sama.” Ara tersenyum.

Ere menyodorkan tangannya tanda petualangan membuat mesin pertanian bersama-sama mereka dimulai.

*Cerita ini merupakan tulisan siswa Cirro Cumulus School of Life Lebah Putih Salatiga dalam proyek menulis buku bertema petualangan pada tahun ajaran 2021-2022. Seluruh ide cerita dan gambar merupakan karya orisinil penulis. Pendampingan penulisan dan editing berkerjasama dengan komunitas lintasastra.

Lintang Prihastomo Diaz

Lintang Prihastomo Diaz

Assalamualaikum…
Hallo teman teman, perkenalkan namaku Lintang Prihastomo Diaz, biasa dipanggil Lintang atau Diaz. Aku anak tunggal yang lahir pada tanggal 5 April 2009 di Bekasi.

Hobiku jalan-jalan keluar kota dan main ke rumah mbahku di Jawa Timur. Golongan darahku O.

Aku tinggal di Argomulyo Salatiga. Saat ini, aku bersekolah di SD School of Life Lebah Putih Salatiga, kelas 6.

Bagikan tulisan ini:

Kirim Naskahmu

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

TERPOPULER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contact Info

Copyright © 2022. All rights reserved.

error: Content is protected !!