Cerpen – Fat in Love

Fat in Love

Di seberang meja aku masih mencari momen yang tepat sebelum memulai kalimatku. Ruang makan hening malam ini. Hanya berisi suara sendok dan piring di meja makan. Napasku masih tak beraturan, tapi aku merasa kalimatku sudah berada di ujung lidah. Aku harus menyelesaikan semua ini, toh orang yang di depanku adalah suamiku, keluargaku sendiri. Seburuk apa pun tak akan membunuhku.

"Ben, aku mau kerja." Aku memelankan suaraku di akhir kalimat. Kutunggu responnya beberapa detik, namun sepertinya suaraku belum menyentuh telinganya dengan benar. Ia masih hening, asik bergulat dengan kentang kukus dan paha ayam bakar tadi siang.

"Ben." Aku mengulangi. "Aku sudah memutuskan. Aku mau melakukan sesuatu."

"Kamu ke rumah Emil tadi?" Ia tak mengalihkan pandangannya. Juga tak menghentikan mulutnya yang masih mengunyah. Hawa dingin seperti merambat ke kedua kakiku dan mengubah suasana makan malam kami Sabtu ini.

"Apa wanita itu mempengaruhimu?" Ia melanjutkan.

"Aku hanya pengen melakukan sesuatu, Ben."

Ia menghentikan makannya lalu menatapku penuh selidik. "Dengar. Apa keluarga kita kekurangan uang? Aku bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga kita. Setidaknya hargai uang hasil keringatku. Istri mengurus rumah itu sudah kodratnya, Han."

Sebenarnya aku tak mau membuat keadaan bertambah buruk. Keluarga ini sudah cukup mendapatkan masalah. Tapi bagaimana pun juga, malam ini kami harus mendapatkan hasil dan keputusan. Aku sudah berlatih beberapa kali untuk mencari kalimat yang pas supaya situasi tak memanas.

"Tolong, Ben. Perlakukan aku bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai manusia. Aku menghargai kerja keras dan uang yang kamu hasilkan. Tapi ini bukan soal uang, ini tentang hidupku, Ben."

"Suami wajar membiarkan istrinya kerja ketika kebutuhan keluarga tak tercukupi. Tapi kita sudah cukup, Han. Untuk hidup kita berdua."

Beni diam sejenak. Seperti jeda yang akan dilanjutkan. Aku tahu itu. Kami seperti menunggu jeda itu beberapa detik.

"Yang kurang dari keluarga ini hanya..."

Beni tak melanjutkan kalimatnya.

Tiba-tiba seluruh badanku menghangat. Kedua kakiku terasa berat. Garpu di tanganku hampir terlepas. Aku tak mengira Beni akan menyinggung masalah itu. Aku pikir Beni tak pernah memikirkan atau mempermasalahkannya. Aku masih tersenyum, tapi mataku mulai mengembun. Aku berusaha mengontrol diri. Hawa amarahku kuhembuskan lewat mulut. Seperti latihan yang pernah Emil ajarkan.

"Aku tetap mau bekerja. Maaf, ini untuk hidupku, Ben." Aku beranjak dari kursi, berusaha menghindari suasana agar tidak semakin buruk. Kulangkahkan kakiku meninggalkan meja makan. Meninggalkan Beni. Suamiku tercinta.

"Aku tidak bisa memiliki istri yang sibuk..." suara Beni memelan di ujung telingaku. Aku berhenti sejenak sebelum tiba di pintu kamar. Aku yakin itulah kode perpisahan yang selama ini kutakutkan.

Entahlah, rasa apa itu. Amarah. Lega. Aku tersentak bukan karena Beni mengucapkan itu, sebab aku tau ia akan mengatakannya cepat atau lambat. Tapi aku tak mengira malam ini, ketika aku tengah mengungkapkan masalah lain. Terlalu cepat? Kurasa tidak, toh ini cukup melegakan untukku.

Benakku semalam akhirnya terjawab hari ini. Beni akhirnya jujur tak ingin menikahi wanita yang mencoba hidup dengan dunianya. Ia juga ternyata masih mengharapkan seorang anak dariku.

Entahlah karena masalah yang mana hingga membuatnya tak mencintaku lagi. Yang pasti, aku memiliki salah satunya dan kini aku akan memiliki keduanya.

Tak ada alasan lagi bagi Beni untuk mempertahankanku. Ia cukup mapan untuk memadu atau menceraikanku di tengah jalan. Aku harus mencari pemasukan sebelum itu terjadi. Aku tak mungkin bisa menjanda tanpa pekerjaan.

Ini hari Jumat yang cerah. Beni keluar kota, katanya mengejar investor dari Jepang. Aku masih menerawang ke langit-langit kamar. Pandanganku setengah tertutup lemak pipi.

Aku tidak benar-benar tidur, seperti biasa aku masih bisa mendengar suara TV yang kubiarkan mengoceh di ruang keluarga. Ruang keluarga, begitulah rencana pertama kami saat membeli rumah 2 lantai ini.

Kami memilih ruang keluarga yang luas, harus cukup untuk sofa, meja, smart TV dan karpet Turki untuk tempat bermain anak-anak. Empat atau lima anak akan kami gembalakan di rumah ini. Tapi sudah satu tahun, tak ada ocehan satu anak pun yang menguasai ruangan, bahkan seluruh rumah.

Dua bulan lalu, Dokter Irwan menduga jika aku mengalami PCOS. Aku tahu kondisi ini. Dulu semasa kuliah ketika masih menjadi penyiar radio aku pernah membahas beberapa materi ibu hamil di acara Rumah Sehat Zenita FM. Seingatku kondisi ini menyebabkan indung telur menebal dan tidak mampu mengeluarkan sel telur saat masa ovulasi. Aku yakin Beni tak tahu seberapa serius kondis ini.

Sebenarnya aku tak cukup kuat menerima kondisi ini. Entah dengan Beni. Itulah yang mengusik pikiranku sebulan terakhir. Di ruang dokter, setelah dokter memberikan diagnosa, Beni nampak tenang-tenang saja. Meski ia memiliki cukup tabungan, ia tak langsung mencetuskan operasi, bayi tabung atau yang lainnya agar kami dapat memiliki keturunan. Mungkin ia menyimpan rencana cadangan itu untuk waktu yang tepat dan mendesak, atau mungkin karena ia tak terlalu peduli untuk saat ini, toh usia pernikahan kami masih muda.

Mudah bagi Beni untuk mengalihkan masalah ini dengan menyibukan dirinya di tempat kerja. Tapi tidak denganku yang hanya di rumah, duduk dan mendengar samar suara-suara mimpi yang beterbangan di sudut-sudut rumah. Hanya beterbangan, tak ada yang tertangkap satu pun.

Sudah jam 11 siang, aku masih berusaha tidur seperti biasanya, membunuh waktu agar cepat berlalu. Aku malas keluar bersama istri-istri di lingkungan ini. Sekedar berbagi gosip, berbagi masalah rumah tangga masing-masing atau yang lainnya.

Ini hari Jumat. Aku tahu itu. Mereka bahkan mengganti Friday dengan Femaleday. Harinya para istri-istri untuk pergi ke mall, beli makanan dan pakaian untuk liburan ke luar kota selama weekend. Weekend adalah hari paling privat untuk setiap keluarga. Tak bisa diganggu. Semua punya tujuan liburan masing-masing. Mereka menyebutnya "hari untuk melemaskan punggung suami."

Aku bukan tipe yang suka menghamburkan uang untuk hal-hal tak penting. Ya. Aku bukan dari keluarga kaya. Aku tidak terbiasa melakukan semua itu. Dulu ayahku membuka bengkel mobil di kontrakan toko dekat kampus. Sedangkan ibu membuka warung padang di rumah bahkan sebelum aku lahir. Hingga SMA aku bekerja di warung ibuku supaya dapat uang saku. Tak ada istilah meminta dan memangku tangan untuk mendapatkan uang.

Kelas dua SMA, berat badanku melonjak hingga 75 kg. Di keluarga kami, makan adalah hal paling penting setelah pakaian dan tidur. Aku sudah terbiasa dengan makanan berlemak di warung. Ada jam makan di keluarga kami. Lapar atau tidak, jam makan tak tertulis itu mesti dipatuhi.

Itulah mengapa aku tak terlalu populer di setiap lingkungan yang aku masuki. Jangankan pacar, teman pun hanya punya dua atau tiga. Tentu mereka yang memiliki masalah yang sama denganku.

Tapi tidak dengan Beni. Adat keluarganya percaya, semakin gemuk perempuan maka semakin subur ia untuk mengandung dan semakin baik untuk dijadikan istri. Mungkin itulah alasan dia mau menerima perempuan gemuk sepertiku.

Entahlah, yang pasti sekarang aku tidak bisa bersantai seperti ini terus menerus. Bahkan aku sudah tidak bisa merasakan leher dan lututku. Mau segemuk apa lagi?

"Aku ingin mengerjakan sesuatu."

Sore hari, dua jam sebelum Beni pulang aku pergi ke rumah Emil. Sudah lama semenjak hari pernikahan kami, aku tak pernah berkunjung lagi ke rumahnya.

"Sudah sampai batasmu?"

"Aku tidak dilahirkan untuk menjadi kucing malas penunggu rumah, Mil." Aku menghela napas panjang.

"Apa maksudmu?" sahut Rehan, istri Emil. Tak sengaja ia mendengar percakapan kami di ruang tamu.

"Hana yang malang, ia menikahi lelaki yang tak mau mengikhlaskan istrinya bekerja." Emil menunjukan wajah masam pada suaminya.

"Aku sudah berusaha menghormati suamiku, Mil."

"Kau tahu, kalau saja aku tidak membiarkan Emil melakukan apa yang ia suka, mungkin ia sudah gila sekarang." Rehan meletakan nampan minuman di meja sambil terkekeh. Bibir Emil mendesis, matanya manja bertemu dengan mata Rehan yang berusaha menggodanya.

"Han, meski kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing, kami tetap saling membantu di rumah. Aku yakin semua pasangan di dunia ini bisa melakukannya."

"Kau tau kan Mil, suamiku sangat membenci wanita karir."

"Tentu saja, ia selalu mengatakan ke seluruh staf perempuan di kantor. Bagi beberapa wanita itu telihat jantan, terutama bagi mereka yang suka menghamburkan uang suaminya" lanjut Emil.

Beberapa saat hening, seperti membiarkanku berpikir.

"Hiduplah dengan yang kau sukai, Han. Percayalah. Kebetulan ada audisi pengisi suara yang diadakan dua hari ini di kantor. Kau harus mencobanya."

Aku memang selalu mencari pekerjaan yang tak terlalu mempermasalahkan penampilan, karena dengan berat badanku yang seperti ini, aku rasa sia-sia. Semasa kuliah aku lebih suka menulis artikel dan menjadi penyiar radio lokal.

Hari Kamis.

"Kamu sudah cari informasi tentang PCOS?"

Aku mengangguk pelan, tapi tetap saja aku berharap dokter Irwan menjelaskannya. Kemarin saat aku dan Beni datang, dia belum menjelaskan semuanya, karena masih diagnosa awal dan belum dapat dipastikan. Hari ini aku ingin memastikannya kembali. Sendiri. Tanpa Beni.

"Polycystic Ovarium Syndrome, perubahan kompleks di hipotalamus, kelenjar pituitari dan ovarium. Kondisi ini mengakibatkan ketidakseimbangan hormon sehingga mempengaruhi ovulasi. PCOS biasanya mengakibatkan resistensi insulin dan obesitas. Obesitas atau kegemukan memang tak secara langsung menurunkan tingkat kesuburan, tetapi dapat menyebabkan munculnya masalah hormon yang dapat mengganggu proses ovulasi."

"Dok, aku mandul?"

"Tidak, kamu hanya mengalami kondisi tertentu. Rahimmu tidak siap atau belum dapat untuk melakukan pembuahan. Dari hasil pemeriksaan, kamu tidak memiliki penyakit kronis di rahim dan tidak memiliki riwayat keguguran."

"Jadi masih ada kemungkinan?"

"Bahkan teknologi modern seperti bayi tabung pun sulit dilakukan pada wanita yang mengalami obesitas. Embrio sulit ditanam pada rahim wanita gemuk."

"Kenapa tadi mengatakan tidak?"

"Sebenarnya kita bisa menyiapkan rahimmu agar dapat melakukan pembuahan."

Aku terdiam, menunggu ia melanjutkan.

"Kamu bersedia diet? Perempuan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 40 memiliki potensi kehamilan sebanyak 35% lebih sedikit dari pada wanita dengan IMT normal 18,5. Saran saya, kamu perlu menurunkan berat badan sebelum program kehamilan. Kami sudah mengetahui indeks massa tubuhmu. Kami sudah mengukur tinggi dan berat badanmu, dan hasil BMI-mu lebih dari 30. Jauh dari BMI ideal antara 19-25. Kita harus mengusahakan minimal sampai 30, agar rahimmu siap."

Aku tidak memperhatikan kertas hasil cekku tadi pagi yang tengah dibaca Dokter Irwan. Aku menatap jauh, menembus dinding ruangan.

Aku tidak terlalu terbebani jika saja dokter mengatakan aku positif mandul. Tapi, ketika dokter mengatakan masih ada kemungkinan saat itulah beban benar-benar menghimpit kepalaku.

Meski kemungkinan gagal 95%, aku masih harus menanggung 5% sisanya untuk diusahakan. Peran dan usaha yang harus kuambil, sama dengan usaha dan keringat yang telah Beni keluarkan untuk mencukupi keluarga kami.

Menurunkan berat badan tak akan berhasil jika aku hanya tinggal di rumah. Bagaimanapun juga aku harus bekerja. Tapi bagaimana jika Beni membenci dan memutuskan untuk meninggalkanku saat aku nekat pergi bekerja? Usahaku akan sia-sia sebelum aku mampu memberikannya keturunan.

Entahlah, aku akan tahu ketika sudah berjalan. Di rumah pun tak akan menyelesaikan masalah. Keluarganya tidak akan puas jika aku hanya bisa mengurus rumah. Itu pekerjaan pembantu. Tak perlu seorang istri. Aku tak mau berdiam diri sampai Beni meninggalkanku. Meninggalkan istri yang tak dapat memberikan apa-apa sepertiku ini.

15 Juni aku diterima mengisi suara projek animasi. Meski hanya akan dikontrak selama 3 bulan, jika mengeluarkan seluruh kemampuanku, aku yakin suaraku akan digunakan untuk serial itu lagi. Sebab, suara khas perempuan gemuk sepertiku jarang mereka dapatkan. Suara yang paling cocok untuk tokoh animasi laki-laki yang tengah mereka garap.

Beni tak pernah membicarakan masalah keluarga kami pada orang tuanya, dan aku tahu hal buruk akan terjadi jika mereka tahu soal kondisiku. Beni selalu mengatakan pada orangtuanya jika kami sedang menunda kehamilan hingga kesibukan Beni berkurang. Ia sedang menunggu promosi produser eksekutif. Katanya akhir tahun ini.

Entah berapa lama lagi Beni sanggup menutup mulutnya. Seperti memburu waktu, aku harus lebih cepat sebelum semua itu terjadi. Kontrak mengharuskanku bekerja tak lebih dari 5 jam sehari, tergantung seberapa banyak naskah dan permintaan PD yang harus kuselesaikan.

Aku sudah mendaftar pilates dan gym. Menghabiskan sore di sana setelah pulang kerja. Begitulah rencanaku beberapa minggu ini. Aku selalu berusaha pulang sebelum jam 6 sore, untuk menyiapkan makan malam, sebelum Beni pulang.

Beberapa minggu ini rumah kami juga terasa semakin dingin. Beni sedang mendiamkanku. Aku tahu itu. Mungkin ia ingin aku merasakan sendiri, mengapa dia menyuruhku untuk tetap di rumah dan tidak pergi bekerja.

Aku bekerja 5 hari dalam satu minggu, tapi hari libur ditentukan ketika PD sudah menentukannya. Ketika Beni libur akhir pekan, aku sering tidak berada di rumah, begitu pun sebaliknya. Kami hanya bertemu ketika tidur dan sarapan pagi. Tak ada waktu untuk saling berbagi cerita. Kami selalu buru-buru. Bahkan ketika ada deadline, kerap kali jadwalku dipindah ke sore atau malam. Dan saat itulah, perasaan bersalah pada Beni semakin besar. Aku sebagai seorang istri tak bisa melayaninya di rumah.

Setelah masa kontrakku 3 bulan habis, aku mendapat kontrak yang kedua, untuk menyelesaikan serial yang tengah dikerjakan. Mungkin 5 bulan lagi akan selesai.

Aku sudah memutuskan, saat itulah aku akan berhenti bekerja. Aku harap berat badanku akan cukup memenuhi persyaratan yang dokter Irwan janjikan.

Akhir Agustus.

"Ada apa denganmu? Sakit?"

Beni memecah keheningan makan malam kami. Tak biasanya seperti itu beberapa bulan ini. Aku sudah menyelesaikan 3 bulan kontrak keduaku dan sudah kehilangan hampir 12 kg. Beni pasti curiga dengan tubuhku yang menyusut drastis. Matanya menyelidik lengan bajuku yang makin longgar.

Aku membiarkan suasana tetap hening.

"Kamu tetap tak mau berhenti kerja? Kamu mau kehilangan seluruh badanmu?"

Aku masih hening, kubenamkan pandanganku pada brokoli dan kentang di atas piringku. Beberapa bulan ini aku hanya makan sayur, susu rendah lemak dan buah. Tdak menyentuh karbo lagi.

"Sudahlah, Han. Dengarkan aku. Aku melarangmu bekerja untuk kesehatanmu. Lihatlah dirimu sekarang."

Aneh bukan, kebanyakan laki-laki mengidamkan perempuan kurus dan poposional. Tapi tidak dengan Beni. Ia memperlakukanku seperti domba yang semakin gemuk semakin berharga.

Beni masih tidak sadar jika mitos keluarganya tidak seluruhnya benar. Malahan, karena gemuk aku tak dapat mengandung. Ia juga tak tahu, aku kehilangan banyak berat badan bukan karena bekerja saja. Sebaiknya ia tak tahu. Ia tak perlu tahu jika aku ikut pilates dan gym. Ia pasti tak mengijinkan. Bahkan mungkin akan mengurungku di rumah. Aku mesti diam dan cari uang sendiri untuk membayar trainer dan membership bulanan.

"Ben, aku akan menyelesaikan kontrak keduaku dulu. 3 bulan lagi, aku akan berhenti." Aku menatap dalam-dalam mata Beni dari ujung meja. Tanpa suara.

Kontrak kedua ini adalah mimpiku sejak SMA. Men-dubbing animasi jepang. Aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Toh, aku baru menurunkan 12kg. Masih butuh banyak waktu lagi. Aku masih butuh uang juga. Tanpa perlu meminta Beni. Beni tak perlu tahu.

29 Nopember.

Sepertinya natal tahun ini aku tidak bisa di rumah. Bahkan mungkin sampai tahun baru. Animasi ini harus rilis akhir bulan Januari. Produser-produser magang dan penulis bahkan iuran menyewa apartemen sampai Pebruari.

Ya. Aku mengambil kontrak ketigaku. 2 bulan lagi sampai Januari. Aku tidak bisa menolak. Jika tidak diambil, suaraku akan dilanjutkan oleh dubber lain. Tuan Minuro adalah milikku. Tak ada yang boleh mengambilnya. Aku sudah menguasai karakter Tuan Minuro. Aku sudah sangat mengenalnya. Ia sudah seperti seorang anak bagiku. Anak laki-laki yang jenaka dan pandai. Berbadan gempal. Suka membantu orang meski pendiam. Selalu diam meski sering dirundung teman-teman sekolahnya. Iya. Aku tahu rasanya. Aku sangat mengerti perasaan Tuan Minuro.

Toh, target berat badanku juga belum tercapai. Misal Beni tiba-tiba memutuskan meninggalkanku, setidaknya aku masih punya pekerjaan. Keputusanku tidak salah. Aku harus belajar mandiri. Pekerjaan ini adalah penyelamatku jika rencana tidak berhasil.

22 Desember.

Hari ibu. Aku belum jadi seorang ibu. Aku tak perlu ambil cuti. Beni juga sedang keluar kota. Di rumah tak ada orang. Tak perlu pulang. Tak perlu menyiapkan makan. Malam ini mungkin aku bisa menyelesaikan 2 episode.

Aku juga ingin melupakan kejadian kemarin sore. Kemarin sore aku muntah di pintu masuk kantor. Mbak Peny, pelatih vokalku menduga jika aku hamil. Tentu saja aku menyangkalnya. Beberapa bulan ini Beni tak mau menyentuhku. Dia masih marah. Atau barangkali dia sudah tak mau berusaha. Dia tahu akan sia-sia. Aku tidak akan hamil meski kami mencobanya berulang-ulang.

Ini hanya gejala Gerd. Aku tak perlu khawatir. Beni tak perlu tahu. Dokter Irwan tak perlu tahu. Mbak Peny menyelipkan lansoprazole ke tasku. Dia tahu aku sedang program diet. Dia tak mau menghakimku. Memberi nasihat yang mengintimidasi. Dia menghargai apa yang sedang kulakukan.

"Aku yakin kamu sudah memikirkannya matang-matang. Aku tahu kamu punya alasan yang menurutmu sebanding. Kamu pasti bisa" pesan Mbak Peny suatu malam. Pesan yang tak akan pernah kuhapus dari ponselku.

Kabarnya Mbak Peny kehilangan pekerjaannya karena berjuang melawan AIDS. Dulu suaminya sebelum meninggal mengaku gay. Dia menikah hanya untuk mengelabui orientasi seksualnya dan menyenangkan orangtuanya. Mbak Peny tak tahu itu semua ketika jatuh cinta dengan laki-laki itu dan memutuskan menikahinya.

Berat badan Mbak Peny pernah drop. Dulu dia pernah gemuk. Punya suara bariton. Tapi sekarang badannya kurus dan lemah. Suaranya juga mulai berubah. Dia hanya bisa mengajari teknik vokal dubber atau voice over, tidak bisa lagi menjadi talent.

Nak. Anakku. Anakku yang cantik dan ganteng.

Aku menulis ini bukan karena iseng. Aku menulis ini supaya kalian bisa membaca ini jika sudah lahir dan besar nanti. Supaya kalian tahu bagaimana ibu memperjuangkan kalian. Jadi tolong, jangan menyia-nyiakan hidup kalian, ya. Aku tahu, kita pasti bisa melewati semua ini. Aku tahu, Ayahmu akan mencintaiku lagi dan mencintai kalian.

Besok malam tahun baru. Nanti sore Beni pulang. Investor dari Jepang katanya sudah berhasil ia dapat. Ia ingin merayakannya bersamaku. Di rumah. Hanya berdua. Katanya ia beli lilin aroma bunga sakura dan sake. Sepertinya Beni masih ingat. Aku pernah ingin pesan online tapi urung karena terasa tidak spesial jika tak membelinya langsung. Aku terlalu jatuh cinta pada Jepang.

Beni merindukanku. Aku yakin. Ia pasti kesepian beberapa bulan ini. Semalam di telepon aku membuat perjanjian. Jika aku bisa memberikannya keturunan, aku ingin ia mengijinkanku bekerja. Ya. Aku terlanjur menikmati pekerjaanku. Aku jatuh cinta dengan pekerjaanku. Aku sudah sejauh ini. Aku tidak bisa melepaskannya begitu saja.

"Memangnya kamu bisa tiba-tiba hamil hanya karena bilang bisa? Kamu tidak ingat apa kata Irwan? Kamu mandul, Han. Kita tidak bisa apa-apa."

Dyarr..

Ternyata itulah yang ada di kepala Beni selama ini. Baginya ketika perempuan punya masalah dengan rahimnya, maka sudah tak ada harapan lagi. Dia sudah memvonisku mandul. Dia sudah menyerah padaku. Bahkan barangkali dia sudah pasrah.

"Aku belum bilang apa-apa pada ibu. Jika kamu masih mau ini semua berlanjut, kita adopsi bayi saja. Pilihan lain.."

Pisah.

Ya. Jika aku tak mau adopsi bayi, Beni akan meninggalkanku. Aku tau.

"Ben. Berhenti. Kamu terlalu banyak bicara hari ini. Pulanglah. Aku tahu kamu merindukanku. Aku tahu kamu ingin menikmati tahun baru ini bersamaku. Aku akan memberimu keturunan. Dan kamu harus mengijinkanku bekerja. Titik."

"Sudah 8 bulan. Senin lalu istrimu datang ke sini. Ia berhasil menurunkan berat badannya lebih dari 30 kg. Sekarang mungkin sudah 75 kg. Meski IBM-nya mepet 31.25, aku akan mengusahakan karena aku sudah berjanji. Istrimu juga sudah berjuang keras menurunkan berat badannya."

"Apa maksudmu?"

"Ia tidak memberi tahumu?"

"Tentang apa? Memberitahu apa?"

"8 bulan lalu, 2 bulan setelah kalian datang memeriksakan rahim istrimu. Istrimu datang lagi untuk konsultasi. Ia mendesakku untuk mencari cara agar ia bisa mengandung. Aku menyarankannya menurunkan berat badan. Jadi bagaimana kabarnya sekarang?"

"Bajingan! Ternyata kau yang menyuruhnya!"

"Ben, gemuk tak selalu mengindikasikan bahwa seorang wanita subur, malahan sebaliknya. Istrimu mengalami PCOS, seperti yang pernah kukatakan 10 bulan yang lalu. Rahimnya tidak siap dan tidak bisa melakukan pembuahan karena obesitasnya. Kegemukan memang tak secara langsung menurunkan tingkat kesuburan, tetapi dapat menyebabkan munculnya masalah hormon yang dapat mengganggu proses ovulasi."

"BANGSAT!"

"Ben. Tak perlu marah. Tenangkan dirimu. Kau hanya membodohi dirimu sendiri. Aku seorang dokter. Aku mengatakan berdasarkan penelitian bukan mitos dan dongeng keluargamu. Kau harus mendengarkan. Aku mencoba membantumu dan istrimu. Kita bukan anak SMA lagi. Kau harusnya sudah berubah. Kalian bisa mencoba bayi tabung. Meski tubuh istrimu belum benar-benar ideal, tapi ia sudah berusaha, dan aku juga akan mengusahakannya. Kau tahu, aku hanya menyarankannya untuk berlatih di rumah dan joging 5 kali sehari di sekitar komplek, tapi ia memilih bekerja, ikut pilates dan gym. 37 kg dalam waktu 8 bulan, Ben!. Menakjubkan! Jika dia mau, dia bisa membuka seminar diet berbayar. Akan kusuruh istriku mendaftar."

"HARUSNYA KAU YANG MATI!"

Plakk ...

Kreeekk ...

Dbrakkkk ...

Kala Lail

Penulis lahir di Kabupaten Semarang tahun 1996. Banyak menghabiskan hidup di Salatiga, Jawa Tengah. Mendirikan komunitas literasi Lintasastra Salatiga; mengelola komunitas online #nulisajadulu; mengelola toko buku; menjadi editor di beberapa penerbit indie dan menjadi mentor menulis sejak tahun 2019. Galeri menulisnya bisa diakses di beberapa sosial media, diantaranya Instagram: @kala.lail, Youtube, Spotify dan Anchor: ibookpodcast.

Mau Tulisanmu Kami Muat?

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

Nama Saya Rani, Bukan Ran

KAMU tahu, nama saya Rani. Sekarang jam tangan saya menunjuk angka 3.40. Dua puluh menit dari sekarang kamu akan sampai, dan saya akan menunggu.

One Last Kiss For Goodbye

"DAN apakah kau tidak menginginkan sesuatu untuk dirimu sendiri? Cinta, persahabatan, keluarga, or let me make it more realistic. Materi?"

Similar Posts