Love, Worst Life and the Final Perfect Life

Kita, bagaikan sebuah kisah tanpa akhir. —Ragiotte Varalle—

“Valentina!”

Just walk away from me. I need to do this.

Depression isn’t gonna last forever. Depression only gonna lead you to suicide. Come on, put it down.

I’m triplets, Gio. My parents  died, my brothers died, and I’m the only one who lives. And the one who I’ve been counted for, just dumbed me like garbage. No, I’m not depressed. I’m just tired of living.

Just count on me. You know I never have a single space just to let you drown.

 

Kita, bagaikan sebuah kisah tanpa akhir.

—Ragiotte Varalle—

 

Bagaimana pun juga, aku layaknya sebuah kutukan.
Ditakdirkan untuk terus sendiri.

—Avora Valentiana—

 

Present Day

That was years ago. Semua sudah kembali ke jalan yang sebenarnya. You have to forget this situation and just trying to live.

Well, I’m pretty sure that I’m tired.

“Valentina,” Aku mengangkat wajahku dan berusaha untuk terus mendengarkan perkataan lawan bicaraku, “just tell me how you feel.”

“Aku ingin melakukan hal yang sama, seperti delapan tahun yang lalu.” Aku menutup buku panduan yang kupegang. Buku panduan yang seharusnya membantuku untuk terus bertahan hidup. Tapi apakah aku perlu secara konsisten berbohong? “Living this life, membuatku terus mengingat bahwa aku tidak layak untuk hidup.”

“Tapi kau masih disini. Alive. That’s a good thing.

Is it?” Hidup adalah anugerah Tuhan. Everybody knows that. Tapi apa gunanya hidup tanpa keluarga? Tanpa manusia-manusia yang Tuhan kirimkan untuk bahagia bersama kita? Apa gunanya aku berjuang untuk diriku sendiri? Apakah pada akhirnya mereka akan kembali? Extremely not. I got it. Kau menyuruhku untuk mencari alasan untuk terus bertahan. Maybe I did find one. Or maybe I'm not. Yang kutahu, kau jelas tidak terlalu membantu disini.”

Dejeannya, seorang dokter muda. Terapisku. Yang tiba-tiba, seiring berjalannya waktu, menjadi temanku. Actually, the only friend I have. “Aku paham. Perasaan seperti itu akan kembali secara terus menerus. Terkadang, kau akan dibanjiri oleh banyak kebingungan. Lalu berubah menjadi ketidakpercayaan diri, menghalangimu untuk melanjutkan hidup yang indah ini.”

“Indah? Paham? Apakah setidaknya satu kali kau pernah kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupmu?”

“Ya…”

“Derrick? Let’s don’t count him. Kau masih dapat bertemu dengannya, sewaktu-waktu. He is alive, Jean.” Jeanny kehilangan kata-katanya. Seakan tertelan oleh kebimbangannya sendiri. “Aku kehilangan mereka. All of them. Dan mungkin, kau yang akan meninggalkanku setelah ini.”

“Tidakkah kau mampu berpikir positif?”

“Positif? Coba jelaskan padaku hal positif apa yang dapat aku hidupi jika aku tidak mampu menemukan satu poin dalam hidup yang membuatku boleh terus bertahan hidup.”

How’s about salvation?” Aku sudah tidak mendengar pertanyaan itu selama tujuh tahun yang lalu. “You already found it, am I right?

I did. I did everything for Him. Sepanjang sisa hidupku. Aku menemukan alasanku untuk bertahan, memberitakan Injil, dan menghidupi buah-buah roh.” Aku hanya ingin mengeluh. “I did enough of praying.

Not that enough, Val.

I know.” Karena sebenarnya, aku hanya berusaha untuk kuat. Aku cukup dewasa untuk tahu jalan hidupku seperti apa. Aku tahu berjalan bersama Tuhan adalah sebuah keuntungan. Tapi di dunia ini jalanku tidak rata, dan hidupku seperti dijungkir-balik. “Aku hanya ingin mencari jawabannya lebih lagi. Mengapa setiap orang dalam hidupku harus pergi dan hanya menyisakan diriku sendiri?”

Not everyone has left.

 

People died, but Christ will always live in eternity and in your heart.

—Ragiotte Varalle—

 

2015

“Bukan ini yang kuharapkan darimu, Gio, ketika kau mengatakan aku dapat bergantung padamu.”

This is exactly what I meant, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak akan pernah membiarkan satu moment pun membuatmu tenggelam.”

Seorang bayi. Usianya satu setengah tahun. Namanya Elena. Cantik setengah mati, hingga menatapnya pun aku tak kuasa. Dalam dekapanku, ia sangat tenang. Senyumnya bagaikan mutiara yang begitu murni dan tulus, yang baru saja dituai dari cangkangnya. Elena Claviaoretta Varalle. Namanya pun begitu indah dan sejuk di hati.

“Aku tidak pernah tahu kau sudah menikah.”

I'm not.

“Jadi anak siapa ini?”

“Dia adalah anak yang Tuhan kirim untuk menyelamatkan hidupku. I almost did kill myself around two years ago. Sampai dua orang datang membawa foto ultrasonografi dari bayi yang begitu mungil, dan begitu cantik. Mereka memiliki banyak anak, Elena adalah anak ke delapan mereka.”

“Siapa mereka?”

“Mereka adalah pasangan penatua di tempatku beribadah. Mereka mendengarkan kabar burung bahwa tunanganku meninggal dunia tepat tiga bulan sebelum hari pernikahan kami. Kami merencanakan banyak hal, hingga keputusan untuk memiliki anak.”

“Jadi…”

“Mereka datang, dan berjanji akan menyerahkan anak ini. Mereka melakukan c-section bertepatan dengan hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami. Aku tinggal di rumah mereka selama lima bulan, untuk melihat proses elena tumbuh menjadi gadis kecil yang begitu sehat. Aku merawatnya, sebanyak orang tua kandungnya merawatnya. Clavia adalah nama tunanganku; gadis ini pun tumbuh sebesar namanya.”

Aku menatap wajah gadis kecil ini dengan begitu haru. Bagaimana bisa bahkan sebelum kelahirannya, ia sudah menjadi penyelamat Gio. “Lalu kau serahkan bayi ini kepadaku? What’s your deal?

I'm not gonna live that long. I even believe I can’t see her as a grown up woman.

What are you talking about?

“Aku sakit, Val, dan Elena membutuhkan sosok baru untuk menjaganya. Aku yakin mengembalikannya kepada orang tua kandungnya adalah hal yang baik, tapi she saved me once. Aku yakin Elena bisa memberimu semangat untuk hidup, just like she did to me.

“Seharusnya kau berkata, ‘I'm not gonna die, not until Elena becomes a grown up woman’. Mengapa kini kau menyerah?”

“Karena sudah waktunya bagiku untuk kembali ke rumah Bapa. Aku sakit, stadium empat.”

“Kanker? Apa?”

I'm not gonna tell you. Dan aku tidak bisa berjanji bahwa orang tuanya tidak akan mengambil Elena darimu setelah kepergianku, tapi aku yakin Elena akan memiliki kisah yang luar biasa dan bangga saat dirinya dewasa, bahwa ia telah menyelamatkan hidupku dan milikmu. Now this is what I'm gonna ask. Apakah kau siap menjaganya untukku?”

 

Dua alasanku untuk bertahan hidup.
Gio dan janjinya, Elena dan janjiku.

—Avora Valentiana—

 

Can you make it three?
Christ and His promises.

—Ragiotte Varalle—

 

Present Day

“Mama, apakah kita akan sampai?”

“Mungkin sepuluh menit lagi, Elena. What do you need?

“Tidak ada.” Elena menggelengkan kepalanya dengan begitu bahagia. “Aku hanya tidak sabar untuk bertemu dengan papa. Banyak hal yang ingin kuceritakan kepadanya.”

Don’t you pray?

Of course, Mama. Tapi aku ingin sesekali seolah berbicara kepada papa. Aku sudah meluapkan seluruh hidupku kepada Tuhan, dan tidak jarang Tuhan menjawab doaku lewat mama, teman-teman, dan banyak orang lain di tempat kita beribadah.”

Elena sangat lembut, taat beribadah, penuh dengan sukacita, dan ia tahu bahwa saat ini khayalannya sedang meluap-luap tapi ia tidak meninggalkan iman ataupun melupakan kasih karunia Tuhan dalam hidupnya. “Hari ini mama ingin kamu bertemu dengan dua orang yang sangat berharga bagi hidup mama, papa dan kelak kamu. Apa kamu siap?”

“Apa mereka orang baik?” Biasanya anak-anak selalu menganggap orang baik sebagai malaikat di dalam kehidupan mereka. Tapi Elena selalu berbeda, sikap dewasanya terlalu logis sehingga ia tahu bahwa malaikat, hanya berada di dalam kekekalan. “Apa mama bersyukur dengan kehadiran mereka?” Anak mana yang bertanya sedetail itu?

“Kamu ada di dalam kehidupan mama dan papa, itu semua karena mereka. Tuhan mengirim mereka supaya kamu bisa menjadi malaikat kecil mama dan papa.”

“Malaikat hanya ada di Surga, Ma,” kekehnya. See? Terlalu dewasa. “Tapi Tuhan di dalam hati kita. Apa mereka punya Tuhan juga di dalam hati mereka?”

Of course.

Then let’s see them! Aku ingin mengenal mereka seperti mama dan papa mengenal mereka dengan begitu baik. Apa mereka punya anak seumuranku, Ma?” Aku mendidiknya begitu baik. Terkadang aku bangga dengan diriku sendiri. “Apa aku akan bertemu mereka juga?”

“Hanya satu. Dua tahun lebih muda darimu.”

“Tujuh tahun?”

“Sekitar itu. Yang lain jauh lebih besar darimu.”

“Aku ingin bermain bersama mereka jika sempat, apakah boleh?”

Aku mengangguk dengan senyuman lebar sekaligus bangga padanya. “Of course. But today, it’s just you, me and these two person who loves you so much.

“Ma, apa mama pernah bertanya kepada papa mengapa ia berhenti melawan penyakitnya?”

I did.

“Apa jawaban papa?”

“Bagaimana jika mama ceritakan dalam perjalanan pulang nanti?”

What if there is no tomorrow? Tidak bisakah mama ceritakan sekarang?”

“Bagaimana saat kita berbicara bersama dua kenalan mama?

“Mengapa?” Karena, sayang, jawaban itu begitu indah yang membawa mama sampai kepada keputusan untuk tetap melanjutkan hidup. “Apa jawaban papa, Ma?”

 

Sebab bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.
Filipi 1:21

—Ragiotte Varalle—

 

Dan aku akan terus hidup, sampai dapat berkumpul bersama dengan Kristus,
keluargaku, dan kamu—Gio.
That is the definition of my perfect life.

—Avora Valentiana—

Tentang Penulis

Penulis sering dikenal sebagai Aurelia Chrissy. Lahir di Magelang, 13 Pebruari 2000. Lulus pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKWS) Salatiga, Jawa Tengah. Aktif menulis novel, cerpen, dan puisi. Penulis bisa dihubungi melalui Instagram @checha_ chrissy dan Email aureliachrissy@gmail.co

Bagikan tulisan ini:

Contact Info

Copyright © 2022. All rights reserved.

error: Content is protected !!