Cerpen – Menikahi Dewi Pertiwi

Menikahi Dewi Pertiwi

Warga desa mendadak heboh mendengar pesta pernikahanku dengan Pertiwi. Bahkan tamu undangan heran melihat pernikahanku digelar besar-besaran. Pernikahan ini berlangsung secara adat. Semua saran orang tua terdahulu serta kepercayaan kepada nenek moyang aku ikuti. Kesenian wayang kulit digelar semalam suntuk. Daun sirih, pisang raja setangkep, sebutir telur, kendil, kelapa, dan lain-lain sudah diurus. Ayam ingkung lengkap dengan nasi bucu liwetan serta rempah-rempah dapur berjajar rapi di atasnya. Sehari setelahnya, tradisi kenduri dilakukan agar pernikahanku terhindar dari segala malapetaka, orang jawa menyebutnya selametan. Pesta tujuh hari tujuh malam tiada henti-hentinya.

"Kok, Pertiwi mau dinikahkan dengan laki-laki bangkotan seperti dia." Beberapa tamu undangan saling berbisik tentang pernikahanku. "Ya, mau bagaimana lagi, laki-laki itu kan orang kaya. Gadis seperti Pertiwi juga bisa dibelinya." Suara menusuk itu kini terdengar oleh Laksmi – ibu Pertiwi. Pasti perempuan ini sangat tersakiti hatinya. Aku sungguh tidak peduli dengan semua cibiran orang tentang pernikahan kami. Meski Pertiwi masih setengah hati mencintaiku. Aku melakukan ini agar dia bahagia dalam pelukanku selamanya.

***

Pertiwi tersayang. Aku adalah laki-laki beruntung. Aku sudah mencintaimu sejak kau tertidur di dalam rahim ibumu. Kau pasti bertanya-tanya, Bagaimana bisa? Sabar dulu, ini baru awal cerita. Tunggulah beberapa saat dan jangan banyak bertanya. Diam saja dulu. Belajarlah mendengarkanku sekali-kali.

Begini ceritanya. Dua puluh lima tahun yang lalu, aku sering berkunjung ke rumahmu. Menemui ibumu, Si Laksmi itu. Membawakan beberapa ikan dan binatang laut kesukaannya. Ibumu itu suka sekali ikan hasil tangkapanku. Aku selalu dipujinya tiap kali berhasil menangkap ikan besar. Ia sering memasak makanan itu untukku. Tapi, kalau boleh jujur, aku sangat tidak suka makanan laut. Tapi, ku-iya-kan saja saat makanan sudah berada tepat di hadapanku. Tujuanku hanya ingin melihat ibumu tersenyum.

Saat itu kau belum terlihat olehku. Belum tercium bau kehadiranmu. Tapi, aku merasakan semesta sedang mencoba membisikan kalimat-kalimat rindu yang ditujukan untukmu. Ibumu yang malang. Dia mengandungmu sendirian. Kabar kehamilan ibumu dianggap petaka karena kau tidak memiliki ayah. Orang-orang bertemu untuk saling bergunjing. "Aku ini sedang mengandung anak titisan Dewa Wisnu. Jadi, tidak masalah orang-orang itu menggunjingku. Dewa memberkatiku." Kata Laksmi waktu itu. Mereka mengatakan bahwa Laksmi sudah tidak waras lagi. Ibumu yang cantik itu hanya tersenyum mendengar cibiran orang. Sejak aku tahu ibumu mengandung perempuan secantik dirimu. Langsung saja aku minta dinikahkan denganmu kelak.

Aku sekarang berkuasa atas laut dan isinya. Kau tahu dari mana laut itu tercipta, Pertiwi? Ya, dari air mata ibumu, Laksmi. Air mata itu mengalir sebab rindunya kepada Sang Hyang. Begitu laut tercipta, ia menyadari bahwa air matanya membawa penghidupan bagi penghuni laut dan teman-temannya.

"Kenapa kau diam saja, Pertiwi sayang?"

"Katamu tadi aku disuruh diam."

"Maksudku,Tak usah kau manyun begitu, nanti ibumu protes."

"Protes kenapa?"

"Kau dilahirkan susah payah itu untuk menghidupi makhluk lain. Kalau kau manyun, nanti air mata ibumu itu meluap lagi. Kau mau begitu?"

"Enak saja! Ini kan ulahmu yang sering membuatku marah." Aku hanya terkekeh melihat wajahnya yang sedang merah. Hatinya mengkal tapi, menggemaskan. Lalu, kulanjutkan potongan cerita yang belum usai.

***

Pertiwi. Perempuan berparas ayu ini menyukai warna putih. Selaras dengan kulitnya yang bersih nan bercahaya. Rambutnya panjang sepinggang. Perempuan ini tidak pernah seberuntung aku. Baginya, pernikahan kami bak neraka. Dia memang tidak pernah mencintaiku. Aku ini kelewat tua katanya. Pantasnya jadi suami ibunya. Tapi, bagiku, mendapatkannya adalah surga yang tidak terkatakan. Aku sungguh beruntung, kan? Sejak ia menikah denganku, bibirnya jarang sekali tersenyum. Wajahnya murung. Sudah kuduga, air mata ibunya sudah meluap-luap di luar sana. Tapi, aku tidak ingin menyakiti Pertiwi. Sama sekali tidak ingin. Aku mencintainya, tulus. Aku percaya suatu saat nanti Pertiwi juga akan mencintaiku.

Aku lebih rajin meniduri gadis muda yang sudah sah menjadi istriku ini. Tiga bulan sekali dia hamil dan melahirkan anak-anak yang kuharapkan. Sekali melahirkan, ratusan tumbuh-tumbuhan hidup di tubuhnya. Menyusu kepadanya. Melekat sampai besar dan bisa kupetik untuk menghidupi rumah tangga kami. Begitu juga warga desa di sini. Mereka berbondong-bondong mengambil berkah Sang Hyang yang dititipkan melalui Pertiwi.

Tepat hari ini, masa panen raya tiba. Sejak anak-anak kami lahir ke dunia, semua orang bersuka cita. Petani-petani tersenyum renyah, merekah. Lumbung padi mereka selalu penuh. Anak-anak mereka tidak pernah kelaparan. Aku terlampau bahagia melihat warga desaku juga menikmati anugerah pemberian Sang Hyang lewat istriku. Cibiran demi cibiran sudah tidak pernah terdengar. Orang Jawa bilang mereka kecipratan rezeki dari pernikahan kami.

Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan pun berlalu, masih sama. Usai masa menyusuinya berakhir. Aku menidurinya lagi. Begitu terus sampai anak kami beranak-pinak tak keruan. Berkembang biak di tubuhnya. Sedang para petani terus berdatangan ke rumah kami. Membawa karung-karung besar. Sebagian anak-anakku diangkutnya. Dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing. Ada yang ditanam. Dimasak. Dijual. Apapun itu untuk kelangsungan hidup mereka. Sisanya aku sisihkan anak-anak kami di keranjang. Seperti biasanya, aku meminta orang suruhanku menjualnya di pasar. Ternyata laku keras. Aku kelewat senang dan puas dengan pelayanan Pertiwi.

Semakin hari, semakin aku tergiur dengan keindahannya. Aku lupa bahwa apa yang kulakukan ternyata menyakiti Pertiwi. Baru dua tahun berlalu, anak-anak kami sudah menjadi semak belukar di tubuhnya. Sekarang ia menjadi lebih kurus. Pipi gempalnya tidak nampak menyembul. Wajahnya lesu, pucat-pasi. Bibirnya menghitam. Tidak semerah dulu saat pertama kali aku mengecupnya berkali-kali. Pipinya semakin kempot. Perempuan ini cepat sekali menua, pikirku. Suaranya melemah tidak berdaya.

"Kau ini sebenarnya mencintaiku atau tidak?" Pertiwi menggugatku.

"Tentu saja. Aku mencintaimu, Pertiwi." Aku menyakinkannya.

"Kau bohong! Kau menikahiku hanya karena ingin mengambil anak-anak yang kulahirkan." Tangisannya semakin tersedu.

"Bukan. Bukan seperti itu. Ini semua aku lakukan karena aku mencintaimu, Pertiwi. Maafkan aku."

"Kau sudah mengambil air mata ibuku. Sekarang kau ambil juga beberapa bagian tubuhku. Anak-anakku kau jual pada tengkulak. Keji sekali kau ini."

Malam itu menjadi lebih pilu dari biasanya. Aku tersedu melihat Pertiwi sakit karena ulahku. Pertiwi enggan melihatku. Dia hanya diam saja. Membatu. Aku tak berdaya memperbaiki semua kesalahanku. Tubuhnya terlanjur rapuh. Lunglai tidak bertenanga. Saat itu aku berjanji tidak akan membuatnya hamil lagi. Kubiarkan ia istirahat. Kubelikan obat agar ia cepat sembuh. Aku mencari penghidupan lain untuk menafkahinya tanpa harus menyakiti tubuhnya berkali-kali.

***

Dua tahun berlalu. Kini, keadaan Pertiwi sudah membaik. Tubuhnya yang kurus sudah lebih berisi. Wajahnya terlihat lebih segar. Tidak pucat. Bibirnya merona sekali. Tanpa sadar aku tergoda menidurinya lagi. Kali ini aku telah melanggar janji. Kulihat Sang Hyang murka dan mengutus beberapa Dewa untuk mengutukku. Anak-anaku berebut menguburku di dalam rahim ibunya – istriku sendiri. Seketika, tubuhku berubah menjadi semak belukar. Menjalar-jalar tidak keruan. Tanpa sadar aku telah melebur di dalam tubuh Pertiwi. Sejak saat itu, tangisan Pertiwi tidak pernah terdengar lagi. Bedanya, air mata para petani lebih sering kudengar belakangan karena gagal panen berkali-kali.

"Istriku tercinta. Mintakan aku ampun kepada ibumu, Laksmi. Ia adalah Dewi pemilik kesuburan. Aku tidak tega melihat petani itu bermuram durja karena kehilangan penghasilan mereka. Padi yang adalah anak-anak kita – cucu Dewi Laksmi -- sudah enggan tumbuh di sawah mereka. Sebab ibumu murka kepadaku. Aku mengerti kau memiliki hati yang lembut. Ibumu akan lebih mendengar permintaanmu daripada kata-kata pendosa sepertiku." Pintaku waktu itu.

Bagiku, semuanya terjadi sangat cepat. Hingga aku tak sempat menghitung berapa usiaku kini. Sejak saat itu, semuanya berubah. Jika masa panen raya tiba, para petani ramai mengadakan pagelaran wayang kulit. Menyiapkan beberapa makanan di sawah mereka masing-masing, seperti: ayam ingkung lengkap dengan nasi bucu liwetan serta rempahrempah dapur berjajar rapi di atasnya. Kata mereka "Ini harus dilakukan untuk menghormati

Dewi Pertiwi." Belakangan aku tahu, Dewi Laksmi telah menitiskan kesuburan itu kepadamu.

***

Begitulah alur hidup kita, Pertiwi. Kisah ini akan selalu rumit untuk diceritakan. Tidak akan pernah selesai bila ditulis. Tidak akan pernah habis bila dikenang. Sebelum akhirnya aku menidurimu (lagi). Ingin kuberi nama anak kita nanti, Nusantara.

Tika Lutfia Ningsih

Penulis lahir di Kab. Semarang 2 Juli 1996. Lulus S1 pendidikan Bahasa Inggris IAIN Salatiga tahun 2018. Sekarang mengajar di Mi Tarbiyatul Aulad Bergas. Penulis bisa dihubungi melalui email: tikalutfianingsih@gmail.com atau Instagram @tikalutfia_

Mau Tulisanmu Kami Muat?

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

Nama Saya Rani, Bukan Ran

KAMU tahu, nama saya Rani. Sekarang jam tangan saya menunjuk angka 3.40. Dua puluh menit dari sekarang kamu akan sampai, dan saya akan menunggu.

One Last Kiss For Goodbye

"DAN apakah kau tidak menginginkan sesuatu untuk dirimu sendiri? Cinta, persahabatan, keluarga, or let me make it more realistic. Materi?"

Similar Posts