Cerpen – Menjadi Perempuan
SESEKALI Asri menyeka keningnya yang mengkilat. Tangan kirinya sibuk mengusap kaki dengan minyak kayu putih. Benar saja, gerimis semalam lagi-lagi membuat nyamuk pindah ke tempat kering. Kaki dan tangan Asri mulai memerah di beberapa tempat.
Siang itu rambutnya kusut masai. Matanya lamur. Cekungan hitam di bawah matanya semakin kentara. Ia termangu di kursi teras, berdo’a agar Fatma dan Ardi tidur pulas. Menghantarkan mereka berdua tidur siang bukan perkara mudah. Asri menumpukan dagu di atas dengkul kiri sembari mengusap kedua kakinya perlahan. Seperti ragu dengan keadaan.
Tujuh tahun lalu Asri masih gadis desa. Anak petani singkong dengan sejuta mimpi. Ia nekat pamit mengadu nasib ke kota berbekal ijasah diploma.
“Gunanya sekolah itu buat apa to, Mak? Pergi pagi, duduk di kelas selama belasan tahun untuk apa to, Pak? Uang-uang yang sudah bapak habiskan gunanya buat apa? Ijasah-ijasah yang Asri kumpulkan mau dipajang di rumah? Tiap pagi pergi ke sawah atau momong anak di rumah sampai tua? Terus apa gunanya sekolah bertahun-tahun? Baca tulis aja kan udah cukup, Pak”
Kalimat itu masih menggantung di kepala Asri. Hampir 7 tahun tapi masih berasa di ujung lidah. Saat itu Asri disarankan untuk lekas menikah saja selepas SMA sama seperti teman perempuan seumuran lainnya. Namun Asri menolaknya mentah-mentah.
Tak seorang pun mampu menandingi kecerdasan Asri di kampung. Teman sebayanya pun gamang berteman dengan Asri. Selain langganan ranking satu, ia juga dikenal sebagai kembang desa. Gadis paling ayu dan bersih sekelurahan. Teman perempuan lain selepas pulang sekolah sibuk momong adik-adik mereka atau pergi ke ladang membawakan makan untuk bapaknya atau membantu panen singkong atau duduk di teras membuat keranjang ikan bandeng dari anyaman bambu atau pekerjaan lain yang selalu Asri hindari. Asri lebih memilih menjadi seorang putri di rumahnya. Berteduh menghindari panas matahari. Sibuk dengan buku di kamar.
Sesampainya di Jakarta, ia melamar puluhan perusahaan dan ditolak puluhan kali juga. Belum genap sebulan uangnya habis untuk naik kereta, makan dan bayar kos. Akhirnya ia terpaksa kerja di rumah makan.
“Ijasah diploma itu di sini gak ada gunanya.” Kata ibu pemilik warung saat menerimanya kerja.
“Kalau tak punya keahlian, kerja seadanya saja. Ada ribuan orang yang punya ijasah sarjana lontang-lantung dan ngutang makan di sini. Sekarang ijasah itu tak penting. Yang penting punya keahlian. Hla masak saja kamu gak bisa, nekat ke Jakarta.” Imbuh ibu pemilik warung.
Asri memang tidak pernah masak di rumah. Tujuannya belajar siang malam memang supaya bisa hidup nyaman saat dewasa. Tujuannya ke kota bukan cuci piring dan masak. Ia pengen kerja di kantor, beli rumah atau apartemen lalu sewa pembantu. Tak perlulah repot masak dan mencuci. Kerja kerasnya belajar belasan tahun harusnya terbayar dan bisa dinikmati.
Beberapa bulan bekerja di warung makan, Asri tak pernah mengabari orang tuanya di kampung. Ia malu dengan pekerjaannya. Tapi saat bulan puasa, ia terpaksa menelepon adiknya di kampung. Ia sakit tifus dan di kos sendirian. Katanya ia jarang sahur. Di warung juga makan seadanya. Sering makan lauk sisa yang sudah agak basi.
“Jauh-jauh ke kota cuman njaga warung. Pulang aja! Tak bikinin warung di sini!” bentak bapaknya di telepon.
Asri bertekad tak mau pulang sebelum sukses. Pulang di kondisi seperti itu sama saja gagal. Kalah dengan mimpinya sendiri. Ia tak punya cukup wajah tebal untuk dibawa pulang. Menerima uang kiriman dari ibunya saja sudah menghancurkan harga dirinya.
“Bawa ke dokter, Nduk. Jangan ditahan. Kalau ndak mau pulang ya sudah. Tapi nurut sama ibuk. Periksa ke dokter. Minum obat. Istirahat, ndak usah kerja dulu.” Ibunya menenangkan.
Lebaran Asri tetap tak pulang mudik. Setelah kesehatannya membaik, ia diajak temannya untuk berbisnis.
“Kerja di warung makan itu buang-buang waktu. Kamu masih muda. Gajimu tidak akan cukup untuk hidup di kota. Memangnya kamu tidak mau beli rumah sendiri. Menikah dan punya anak?” Bujuk Agnes. Teman sebelah kosnya.
Asri terpesona dengan gaya hidup Agnes. Perempuan mandiri. Pintar cari peluang. Wawasannya luas. Agnes paham betul dengan seluk beluk nama jalan dan alamat. Ia juga perantauan, tapi dari Makassar. Merantau untuk kuliah. Tapi tak selesai. Ia sibuk berbisnis. Katanya lebih masuk akal.
“Kita bisa cepat kaya dengan ini.” Agnes menyodorkan selebaran. Mirip majalah tapi kecil seperti brosur. Di halaman muka ada foto kapal pesiar dan sedan mercedes. Sangat mewah. Tentu Asri tertarik.
“Hanya modal 3 juta dan punya hape. Kau mau?” Agnes meyakinkan.
Buru-buru Asri lari ke kosannya. Membuka tas dan dompetnya. Gaji yang dikumpulkannya dari pekerjaannya di rumah makan ia ambil dan bawa ke Agnes.
“Hanya 3 juta? Di mana kantornya?” Asri kegirangan sembari menyodorkan uang di tangannya.
Selama 2 jam Agnes menjelaskan panjang lebar mengenai bisnis yang sedang ia maksud. Asri hanya mangguk-mangguk. Seperti mendapat pencerahan dan peluang emas. Ia semakin percaya diri.
Setiap akhir pekan ada seminar yang mesti dihadiri Asri dan Agnes. Strategi penjualan produk dan perekrutan member baru dijelaskan secara menarik dan menggebu-gebu oleh mentor. Asri makin aktif wira-wiri naik ojek online. Ada bonus berlipat jika dia bisa membujuk orang lain untuk ikut berbisnis. Bisnisnya sederhana. Menjual air mineral. Di toko tak ada. Itu produk ekslusif, kata mentor. Hanya member saja yang bisa menjual. Khasiatnya banyak. Harganya menengah ke atas.
Tiap pagi, Asri mendatangi rumah-rumah warga komplek. Dari pintu ke pintu menawarkan air mineral itu. Jalan kaki menjinjing se-box air mineral berisi 12 botol dan brosur tebal warna-warni. Sendirian. Sementara Agnes di kantor. Tugasnya sudah lumayan enak. Katanya levelnya sudah cukup atas. Sudah punya member banyak. Tinggal duduk di kantor dan menunggu pemasukan. Orang baru seperti Asri mesti memeras keringat dan latihan memutuskan urat malu. Proses awal yang katanya memang mesti dilalui, untuk melatih mental.
Akhir bulan Pebruari, Asri diwajibkan ikut pelatihan selama 15 hari. Tempatnya di hotel. Biayanya 12 juta. Untuk uang makan dan penginapan. Katanya jika bisa ikut, levelnya akan segera naik. Tidak perlu lagi jalan kaki dari pintu ke pintu.
Tanpa pikir panjang, esoknya Asri keluar dari rumah makan dan mengabari bapaknya di kampung.
“Pak. Asri sudah keluar dari rumah makan. Sekarang baru magang di perusahaan baru. Tapi Asri butuh uang untuk bayar biaya magang. Nanti ada pelatihan selama 15 hari di hotel, Pak. Sekarang Asri hanya punya uang empat ratus ribu.” Suara Asri serak hampir menangis di ujung telepon.
Bapaknya hanya punya uang 6 juta. Hasil jual dua ekor kambing. Kata manajer, bisa bayar 6 juta tapi harus tidur dengan teman lain. Tak bisa punya kamar sendiri.
“Tidur saja denganku.” Agnes memecah keheningan. Tiba-tiba saja ia sudah berdiri di pintu kos malam-malam. Tidak seperti biasanya. Mungkin ia ingin memastikan keadaan Asri dan membujuknya lagi untuk ikut pelatihan itu.
Asri menatapnya sebentar. Senyumnya mengembang. Ia memutari pandangannya ke sekitaran. Selangkah lagi ia bisa meninggalkan kosnya yang sempit dan panas itu.
“Kamu siap-siap dulu saja. Bawa pakaian secukupnya. Besok pagi kita ke halte bareng. Aku tahu hotelnya.”
“Terimakasih, Mbak.” Kedua mata Asri berkaca.
Tanpa Agnes, Asri tak punya penunjuk arah. Ia tak tahu letak stasiun. Nama halte dan bus. Ongkos sekali jalan. Cara membuat kartu transport dll. Barangkali Agnes adalah doa yang dikirim oleh kedua orangtuanya di kampung.
Asri tak bisa tidur. Bukan khawatir tapi menahan antusias. Seperti dulu saat mau study tour ke Bali. Semalaman tak bisa tidur. Menunggu sesuatu yang besar dan baru. Mungkin akhir tahun nanti ia bisa beli rumah. Tahun depan pulang bawa mobil. Nasihat-nasihatnya akan mulai didengar oleh orang kampung. Bahwa pendidikan tinggi itu penting. Bisa mengubah nasib dan melepas jerat kemiskinan.
“Mbak …”
“Mbak …..”
Dok, dok.
“Mbak …. Bangun.”
Asri sudah di depan pintu kos Agnes pagi-pagi. Tirai jendelanya tertutup. Lampu juga mati. Pintu terkunci. Tak ada suara di dalam.
“Mbak…”
Asri mulai khawatir. Bukan khawatir Agnes gantung diri. Ia khawatir Agnes kabur.
Asri merogoh ponselnya. Mencari nomor Agnes dan melakukan panggilan. Beberapa kali gagal. Ia mengingat-ingat lagi nomor mentornya. Mungkin saja Agnes sudah duluan ke sana.
Tapi nomor tidak aktif.
“Halo…”
“Halo….”
∞
“Sudah. Ikhlasin saja, Nduk.”
Asri sudah dua minggu mengurung diri di kamar. Awal bulan lalu ia pulang dengan mata sembab. Katanya ia pinjam uang ke ibu bos warungnya dulu untuk pulang ke kampung. Ibu itu memberinya beberapa ratus ribu karena kasihan. Tentu saja dengan memaki lebih dulu.
Ibunya Asri paham, anak perempuannya itu malu untuk keluar rumah. Kabar dirinya ditipu memang belum menyebar. Tapi keberadaanya di rumah sudah menguatkan bukti bahwa ia kalah. Kalah bertarung dengan metropolitan.
“Tidak usah pamit. Tidak usah bilang ke bapak. Ini ibu punya uang sedikit. Kalau mau ke kota lagi, ambil.”
Asri menangis. Batinnya benar-benar tertekan. Hatinya masih tertinggal di kota. Ia juga tak punya keberanian hidup di kampung. Ia terlalu malu. Lebih baik menanggung malu di luar kota. Di kota, ia bisa jadi orang yang benar-benar baru. Tidak ada yang mengenal. Ia tidak terlalu trauma. Rasa malunya lebih besar. Selain ingin mengembalikan uang bapaknya yang sudah ia pinjam dan dibawa lari Agnes, ia juga masih penasaran dan tertantang. Kepercayaan dirinya di kampung sebagai perempuan pintar diremehkan. Bisa-bisanya kena tipu. Bisa-bisanya ia tak sadar.
Asri tak pamit. Ia hanya meninggalkan surat.
Katanya, kali ini ia akan berhasil dan tak akan membawa pulang tangisan. Ia akan lebih mandiri dan tak akan minta bantuan lagi.
Asri memilih ke Semarang kali ini. Ia mendapat kontak perusahaan outsourching di sana. Katanya bisa menyalurkannya kerja di perusahaan provider. Gratis. Tak ada biaya. Hanya saja gaji yang diterima akan dipotong 9%. Asri langsung mengiyakan. Tak pikir panjang. Bisa mengabari ibunya di rumah, bahwa ia sudah benar-benar resmi bekerja di perusahaan lebih penting. Bukti bahwa kali ini ia akan berhasil. Bukti bahwa ijasahnya benar-benar berguna.
Setelah mendapatkan pekerjaan dan percaya diri, ia mulai mencari-cari pacar. Setidaknya ada 18 foto laki-laki yang selalu sibuk ia tata di atas kasur saat pulang. Beberapa kali ia meminta saran dari adik-adiknya, bak memilih kandidat laki-laki yang pantas dibawanya pulang ke kampung. Tiga di antaranya pernah ia bawa pulang. Pemilik dealer mobil, satpam bank, dan duda beranak satu. Bukan hanya sukses dalam pekerjaan, sukses pula dalam jodoh. Begitulah yang ingin Asri buktikan pada bapak, emak, dan tetangganya.
Jalan dua tahun bekerja, ia menikah. Tentu dengan pria kota. Seperti impiannya. Entah doa siapa yang bekerja, Asri menikahi lelaki yang sama sekali tak ada di koleksi foto itu. Marwan, lelaki berumur 29 tahun, tinggal kontrak dan seorang broker tanah. Marwan bukan lelaki mapan maupun rupawan seperti ekpektasi Asri. Seperti kandidat lain yang memilih mundur karena terlalu capek mengikuti kemauan Asri yang bermacam-macam.
“Aku mencintainya. Titik!” kata Asri setiap ditanya keluarganya.
Keputusan sulit mesti diambil Asri ketika usia kandungannya masuk 7 bulan. Ia terpaksa ambil cuti. Setelah bayi pertamanya lahir ia mulai sibuk mengurus bayinya hingga lepas ASI. Ia terpaksa tak kembali bekerja karena terlalu sibuk. Kehamilan keduanya pun datang dalam waktunya yang cukup dekat.
Matahari semakin susut. Entah sudah terbenam atau belum Asri tak pernah bisa memastikannya. Rumah kontrakannya hampir selalu gelap karena bayangan gedung mall dan apartemen di seberang sungai. Suara klakson mobil mulai ramai di seberang. Artinya karyawan pabrik dan kantoran tengah berjubel di jalan raya menuju rumah mereka masing-masing.
Marwan akan segera pulang. Setidaknya cukup meringankan bebannya di rumah. Sendirian mengurus Fatma yang masih merangkak dan Ardi yang belum benar bicaranya bukan perkara mudah. Ia juga mesti masak dan mencuci. Semuanya akan semakin kacau ketika air sungai di depan meluap.
Asri malas duduk di teras ketika senja turun. Bukan tanpa sebab. Lusa ia mendapati beberapa tikus hitam sebesar kelinci merangkak dari semak sungai menyusuri buritan got dan mengerumuni muntahan Ardi. Tak ada tempat yang tak bisa tikus itu jangkau dan tak ada yang berani melawan tikus itu. Bahkan kucing liar pun menggelinjang.
Asri selalu bergidik setiap melewati tempat basah. Seperti di sudut-sudut genangan atau kamar mandi di belakang rumah. Tak ada mesin cuci. Asri mesti duduk hingga 2 jam setiap hari menggumuli cucian sembari lengan satunya menghambat aroma aneh masuk ke lubang hidungnya. Ia sering protes ke Marwan untuk menutup tempat mencuci itu karena jadi satu dengan pembuangan air kontrakan sebelah.
“Untuk beli AC dulu saja. Ini lebih mendesak.” Marwan meyakinkan.
Marwan sudah berjanji untuk memasang AC. Fatma dan Ardi tidak tahan dengan kipas angin. Kata dokter Fatma dan Ardi terlalu sering terpapar kipas angin saat bayi. Paru-parunya jadi terganggu. Sudah beberapa minggu, malam hari kontrakan mereka hanya diisi rengekan Fatma dan Ardi karena tidak bisa tidur. Mendung membuat udara panas. Tidak boleh menyalakan kipas angin dan tidak punya AC. Tentu sangat menyiksa. Apalagi di kota metropolitan pesisir yang suhunya memanggang itu.
Koh Irwan, pemilik kontrakan juga tak tahu diri. Ia dan istrinya rutin karaokean sampai larut malam. Belum lagi suara ribut kontraan pak Karto. Masalahnya biasa, pak Karto selalu pulang malam, seringnya kalah main gapleh. Ia jarang membawa pulang uang. Lebih seringnya membawa bau alkohol. Kalau siang sibuk mandiin murai batu. Istrinya sibuk ngurus loundry. Pak Karto cuman bertugas antar jemput cucian kotor. Asri tak mau lagi berurusan dengan mereka. Ia pernah menegur mereka untuk membuat lubang resapan baru, karena kadang meluap ke jalan belakang. Tapi ia malah yang kena marah. Di kota, propertimu adalah propertimu, dapurmu adalah dapurmu, tak perlu ikut campur, tak perlu saling sikut.
Ekpektasi Asri akan kehidupan kota semakin menciut. Jika saja Marwan mau berhenti membayar sewa kontrakan dan tinggal di kampung. Setidaknya akan lebih mudah bagi Asri untuk membesarkan Fatma dan Ardi. Bukan hanya karena ada emak dan bapak, namun di kampung kondisinya jauh lebih aman dan banyak teman bermain.
“Mas cari uangnya kan di sini, Dek. Lebih gampang dari pada di desa.” Begitu jawaban Marwan saat pertama kali Asri beri saran. Hanya sekali itu. Asri tak ingin menyanggah suaminya. Tak pernah sekali pun.
Asri sering memendam keinginanya pulang ke desa untuk beberapa bulan sampai Fatma dan Ardi lancar berjalan. Pada akhirnya saat tahun baru, Asri memberanikan diri karena terpaksa dan kasihan melihat Ardi. Anak keduanya itu terkena demam berdarah setelah seminggu rumah mereka terendam banjir. Asri ingin mengajak anak-anak pulang ke kampung untuk sementara waktu hingga kesehatan Ardi membaik. Juga untuk menghindari banjir yang sewaktu-waktu bisa datang lagi.
Setiap pulang kampung, Asri benar-benar merasa bisa istirahat dengan tenang. Emak, Bapak, adik dan saudara-saudara lain selalu berebut mengurus Fatma dan Ardi.
“Joko nikah, Sri. Nanti tanggal 4.”
Emak menyodorkan undangan bersampul foto wajah lelaki yang pernah gila mengejar-ngejar Asri saat SMA. Bukan dengan perempuan kota, Joko menikah dengan perempuan dari dusun sebelah. Tidak terlalu mewah pula kelihatannya, karena undangan itu tak tampak mahal juga. Kertasnya tipis dan fotonya kecil.
Dalam lamunannya, Asri melempar pandangannya ke kejauhan. Ia memandangi ibu-ibu muda yang tengah mengerumuni tukang sayur. Setiap pagi tukang sayur itulah yang mengiderkan sayuran dengan motor roda tiga ke penjuru pelosok kampung. Lebih dari 5 kilometer jalan berbukit dilalui tukang sayur itu untuk mencapai kampung. Sayur mayur sulit tumbuh di tanah padas. Hanya ketela singkong yang mampu bertahan di musim kering. Biasanya ditumbuk menjadi gaplek dan tiwul sebagai pengganti nasi. Untuk lauknya, tukang sayur itulah harapan mereka, agar asupan gizi anak-anak tetap tercukupi.
Sembari menggendong anak, mereka memilah-milah sayur untuk menu sarapan suami sebelum pergi ke ladang. Asri sering melamun melihat kesibukan mereka. Kebanyakan teman sepermainan Asri sewaktu kecil. Tak tampak sedikit pun raut muka letih. Rambut mereka pun tak awut-awutan seperti ketika Asri terbangun oleh rengekan Fatma atau Ardi saat pagi. Mereka seperti tanpa beban saling bercanda dan sesekali bergosip. Asri yakin, mereka hanya menggengam uang tak lebih dari 35 ribu. Cukup untuk membeli sayur dengan ikan asin atau tahu tempe mungkin. Tawa mereka jelas tak mempermasalahkan itu.
“Fatma sama Ardi pamit ya Pak, Mak.”
Suara lumbu kayu bertemu alu di seberang membuat Asri agak tidak yakin. Sumi dan Surti di seberang sibuk menghancurkan singkong kering. Setidaknya butuh tenaga dua orang untuk mengubah singkong kering menjadi butiran tepung. Suara mereka bertempo, ajaibnya alu mereka tak berbenturan satu sama lain.
Marwan sudah menunggu di halaman depan. Sedang berusaha menghidupkan mobil tua bergardan dua. Mobil sewaan dari kawannya di kota. Marwan paham betul kondisi jalan untuk sampai ke kampung. Terlebih lagi di musim penghujan seperti ini. Mobilnya mendapatkan perlawanan sengit dari aspal remuk dan tanah yang landai karena hujan.
Mobil itu lekas meraung meninggalkan asap pekat. Anak-anak kampung mengekor di belakang berusaha mengejar riang. Asri diboyong lagi ke kota, barangkali masih ingin menjemput mimpi dan nasibnya di sana. Ia akan pulang sesekali, jika terlalu capek. Seminggu dua minggu cukup untuk menghela napas dan mengistirahatkan punggung, sebelum bertarung lagi ke kota.
Asri ingat, ia mesti menjemur lagi dokumen-dokumen yang terendam banjir seminggu yang lalu. Untung ijasahnya dibungkus dengan plastik, meski tetap saja basah, setidaknya tak terendam lumpur. Barangkali ia mau mendaftar kerja lagi. Ia pernah bilang mau kerja lagi setelah Fatma dan Ardi bisa jalan. Tentu Marwan tidak setuju. Ia merasa rendah. Baginya harga diri lelaki adalah pekerjaannya. Jika istri bekerja, sama artinya menganggap pendapatan suami tidak cukup untuk menghidupi keluarga.
“Kamu terlalu gengsi, Mas.”
“Apa salahnya gengsi? Gengsi itu harga diri. Semua orang butuh harga diri, kehormatan, martabat. Kehormatan seorang bapak itu pekerjaannya. Kehormatan seorang ibu itu anak-anaknya. Fokus saja menjaga kehormatanmu”
“Selain kehormatan, aku juga butuh hidup, Mas. Bukan masalah uang. Aku juga pengen ketemu orang lain di luar. Membahas ini itu. Bertemu orang baru. Aku bosan di rumah, Mas. Waktu terasa panjang.” Asri memberanikan diri menyanggah suaminya kali ini. Tapi ia berhati-hati betul memilah kata supaya tidak menyinggung.
“Nah, jelas sekarang. Kamu bilang aku terlalu gengsi. Kamu sendiri terlalu egois. Hanya memikirkan kesenanganmu sendiri. Kamu mau bersenang-senang di luar rumah? Ketemu orang-orang baru? Gimana dengan Fatma dan Ardi? Kalau kamu sudah memutuskan mau menikah, artinya kamu sudah siap melepas masa mudamu. Kamu punya tanggung jawab baru, Sri!”
Itu adalah perdebatan mereka yang pertama dan mungkin yang terakhir. Asri tak mau memperkeruh suasana. Ia sudah merasa berdosa pada bapaknya karena pernah mendebatnya sebelum ia memutuskan merantau ke kota.
“Kodrat perempuan itu emang nurut ama laki. Toh, sejak lahir perempuan selalu berada di tangan laki-laki. Di bawah tanggung jawab laki-laki.”
“Ho oh bener. Sebelum nikah, anak perempuan itu tanggung jawab bapak. Setelah nikah, ia jadi tanggung jawab suami. Kalau suaminya meninggal, ia balik jadi tanggung jawab bapaknya. Kalau bapaknya juga meninggal, ia jadi tanggung jawab saudara laki-lakinya. Kan gitu terus ya bu? Bener gak?”
“Iya. Udah nurut aja. Mau gimana lagi. Inget anak-anakmu.”
Ibu-ibu tetangga kontrakan saling sahut suatu sore saat Asri datang ke rumah Winda sambil menangis.
Winda dulunya teller bank. Tubuhnya bagus ramping, kulitnya putih, suka dandan dan mengerti fashion. Nasibnya tak jauh beda dengan Asri. Setelah melahirkan anak pertama, badannya jadi gemuk. Ia juga sudah malas dandan karena sibuk mengurus rumah. Sekarang anaknya sudah sekolah. Ia sudah tidak berminat bekerja lagi. Katanya sudah berdamai dengan keadaan. Menurutnya ada baiknya juga di rumah. Bisa punya banyak waktu dengan anak-anak.
Asri masih terpaku dengan penampilan Winda saat ia bercerita. Memakai daster kuning, rambut diikat ke belakang, jongkok depan tv sambil menguleni adonan kue. Ada beberapa luka di tangan kanannya. Mungkin karena minyak panas. Wajahnya masih cantik, tapi jelas tak terlalu terawat. Tidak ada maskara atau lipstik. Hanya wajah polos sehabis bangun tidur. Mungkin berat badannya sudah tujuh puluh. Pinggang ke bawah tampak berisi. Mungkin karena sudah jarang jalan. Sehari-hari hanya sebatas wira-wiri di dalam rumah.
Katanya ada pesanan kue ulangtahun dari Koh Irwan, pemilik kontraan. Keponakannya yang paling kecil pulang dari Singapura. Winda sudah setahun terakhir sibuk bikin kue. Tak pernah sekolah masak. Hanya modal dari internet. Kata suaminya, kue bikinannya paling enak sedunia, tapi anaknya yang tiap sore main iPad di sofa itu tak pernah mau makan. Katanya pahit.
Asri jadi teringat ibu-ibu beranak dua di kampung. Ibu-ibu yang sehari-hari duduk di depan rumah membuat keranjang ikan. Penampilan dan kondisi ibu-ibu yang selalu ia hindari dalam hidupnya.
Asri tak sengaja menoleh ke kaca sebadan yang berdiri di sebelahnya. Ia melihat wajahnya sendiri. Kantung matanya. Rambutnya yang diikat ke belakang. Lehernya yang mulai menebal. Pinggangnya yang nampak menumpuk karena duduk di lantai. Ia juga baru sadar sedang memakai daster berwarna hijau kesayangannya.
Matanya berair.
Kala Lail
Penulis lahir di Kabupaten Semarang tahun 1996. Banyak menghabiskan hidup di Salatiga, Jawa Tengah. Mendirikan komunitas literasi Lintasastra Salatiga; mengelola komunitas online #nulisajadulu; mengelola toko buku; menjadi editor di beberapa penerbit indie dan menjadi mentor menulis sejak tahun 2019. Galeri menulisnya bisa diakses di beberapa sosial media, diantaranya Instagram: @kala.lail, Youtube, Spotify dan Anchor: ibookpodcast.
Mau Tulisanmu Kami Muat?
Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai