Lokasi
Salatiga, Jawa Tengah
Hub Kami
+62 851 5645 7536
Salatiga, Jawa Tengah
+62 851 5645 7536
Art: @illustratorxinuo
Aku berjalan pelan di antara riuh penumpang yang memadati geladak kapal. Kurenggangkan kaki dan tangan, mencoba menghilangkan sedikit rasa lelah yang menghinggapi tubuh ini. Meski tak serta merta menghilangkannya, namun setidaknya rasa lelah itu terasa sedikit berkurang. Embus angin sore cukup juga ampuh mengurangi rasa penat yang kurasakan sesudah seharian melaksanakan tugas jaga laut.
Setelah merasa lebih baik, aku memilih untuk mendekati pinggiran geladak. Dari sana aku dapat menatap ke arah lautan lepas. Seketika aku merasa damai dan nyaman. Pemandangan laut selalu bisa membuatku merasa tenang. Aku merasa memiliki ikatan khusus dengan laut. Aku merasa sepertinya laut merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari diriku.
Aku terlahir dari sebuah keluarga sederhana di daerah pesisir Jakarta. Oleh orang tuaku, aku diberi nama Indri Natia Kalinda. Menurut mereka namaku bermakna, “Sebuah harapan indah yang menyerupai lautan”. Aku sebenarnya tak tahu pasti apakah ada kaitannya namaku dengan takdir hidupku. Namun pada kenyataannya, sejak lahir hingga kini aku selalu dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kelautan.
Layaknya lautan yang kerap mengalami pasang surut. Seperti itulah kehidupan manusia, tak ada satu pun orang yang tahu akan ke mana arah kehidupan membawanya. Begitu pula dengan diriku, dahulu aku hanya seorang anak yang berasal dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Dulu, menjadi orang yang sukses dan bepergian ke banyak tempat rasanya sangat mustahil kubayangkan dapat terjadi dalam hidupku. Tapi coba lihatlah sekarang, aku ada di kapal ini dan melakukan perjalanan ke beberapa tempat yang sebelumnya hanya bisa kuketahui lewat atlas dan peta. Semua terasa begitu mengagumkan.
Padahal aku hanya anak bungsu yang kehadirannya tak pernah diharapkan oleh kedua orang tuanya. Hal itu wajar saja terjadi, karena kemampuan ekonomi kedua orang tuaku yang hanya cukup untuk membiayai dua anak. Bapak hanya seorang guru honorer di salah satu sekolah yang ada di daerah pesisir Jakarta, sementara Ibu merupakan pedagang makanan kecil demi membantu perekonomian keluarga.
Keadaan perekonomian keluarga yang cukup sulit di ibukota itulah yang kemudian mengharuskanku tinggal bersama Kakek dan Nenek daerah pesisir Jawa Tengah. Pada awalnya aku merasa kecewa dengan keputusan bapak dan ibuku itu. Aku merasa seperti anak yang terbuang dan yang tak pernah diinginkan oleh keluargaku. Beruntungnya, aku memiliki Kakek dan Nenek yang sayang dan perhatian padaku sehingga lambat laun rasa kecewa itu mulai luntur dari sanubariku.
Bagiku Kakek dan Nenek ibarat orang tuaku. Mereka adalah alasan untukku berjuang hingga detik ini. Bahkan, segala pencapaianku saat ini merupakan buah jasa dan kebaikan mereka. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana masa depanku sedang dipertaruhkan. Sebuah peristiwa yang bermula dari kelulusanku dari bangku SMK dulu.
Saat itu aku pulang ke rumah Kakek dengan penuh sukacita. Dadaku dipenuhi kebanggaan yang begitu besar karena berhasil membawa pulang ijazah dengan catatan prestasi terbaik di sekolahku. Sepanjang perjalanan aku membayangkan wajah Kakek dan Nenek yang menyiratkan kebanggaan pada prestasi cucunya.
Mendekati halaman rumah aku melihat sebuah mobil milik Pak Dek Luhung yang rumahnya terletak di daerah kecamatan. Semakin mendekati rumah, sayup-sayup terdengar suara Ibu dan Bapak dari dalam rumah. Sepertinya sedang terjadi perdebatan di antara mereka. Saat memasuki pintu rumah aku pun mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam. Ayo sini masuk, Linda,” jawab Pak Dek seketika.
Aku memberi salam dan mencium tangan masing-masing orang yang ada di ruang tamu saat itu juga. Sebelum aku sempat masuk ke dalam kamar, Pak De Luhung segera berkata, “Ayo, duduk di sini dulu, Nduk. Ada yang ingin kami bicarakan dengan kamu.”
Seketika jantungku berdegup dengan begitu cepat. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang ingin mereka sampaikan padaku? Apakah mereka ingin menyampaikan kebanggaan mereka atas kelulusan dan prestasi yang telah kuraih?
“Jadi begini, kami dengar kabar, katanya kamu berniat untuk masuk sekolah pelayaran. Apa itu betul, Nduk?”
Sambil menganggukkan kepala aku pun menjawab, “Iya, betul Pak Dek. Linda sudah dinyatakan diterima sebagai calon siswa di sekolah pelayaran di Semarang.”
“Sebaiknya kamu batalkan rencanamu itu.”
“Tapi kenapa harus dibatalkan, Pak De? Linda diterima di sekolah itu karena prestasi belajar saya selama ini. Selain itu, biaya pendidikan Linda juga sudah ditanggung pemerintah berkat program diklat gratis. Rasanya sayang sekali kalau Linda harus melepaskan kesempatan sebagus ini?”
“Oalah, Nduk. Mau jadi apa hidupmu nantinya kalau kamu bekerja sebagai pelaut? Apa kata orang kalau tahu kamu itu pelaut? Masa perempuan jadi pelaut,” sambung Bu De, istri Pak De tak kalah sengit.
“Memangnya apa yang salah dengan menjadi pelaut, Bu De?” tanyaku kembali.
“Ehm, menurutmu mungkin tak ada yang salah dengan pekerjaan pelaut. Tapi kamu itu perempuan, Nduk. Pekerjaan sebagai pelaut itu keras. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan harus kamu habiskan di laut. Selain itu hari-harimu harus berhadapan dengan dunia lelaki. Tak ter bayangkan oleh Bapak jika suatu saat kamu berubah layaknya pria yang kasar dan tak pernah dandan,” ucap Bapak mencoba menenangkan suasana yang semakin memanas.
Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan sebelum akhirnya berbicara, “Bapak enggak perlu khawatir. Pekerjaan sebagai pelaut tak akan pernah mengubah keperempuanan Linda. Lagi pula, selama bersekolah di SMK toh Linda sudah berkutat dengan dunia permesinan yang identik dengan lelaki. Lalu, apa salahnya kalau Linda melanjutkan keinginan Linda untuk belajar teknik di sekolah pelayaran?”
“Bocah kok ngeyel banget, Nduk. Kamu itu memang sudah salah didik ya. Seharusnya Bapak dan Ibu tidak membiarkan anak perempuan masuk jurusan mesin yang diperuntukkan bagi laki-laki. Jadinya kelakuannya ya begini, persis kayak lelaki,” ujar Bu De sekenanya.
Hatiku terasa sakit sekali mendengar perkataan istri dari Pak De Luhung barusan. Aku tak bisa terima ucapannya yang menyerang Kakek dan Nenekku. Dengan segera aku bangkit dan bergegas meninggalkan ruangan itu. Aku pun segera berlari menuju kamar tidurku yang berjarak beberapa meter saja dari ruang tamu.
Aku pun segera merebahkan tubuhku ke atas ranjang. Tetesan air mata segera membanjiri wajahku. Sayup-sayup aku mendengar nada suara Kakek yang meninggi. Selama ini aku tak pernah mendengar kakekku berbicara dengan suara sekeras itu. Katanya, “Cukup…! Apa kalian puas sudah menghancurkan perasaan cucuku? Jangan kalian pikir aku akan membiarkan kalian menghancurkan impiannya. Kalau memang kalian tak setuju dengan cita-citanya, ya sudah. Tapi aku sebagai kakeknya akan berjuang mati-matian untuk membantunya meraih mimpinya…!”
Tak lama kemudian Kakek dan Nenek mendatangi kamarku. Dengan suara lembut Kakek berucap, “Kamu nggak usah khawatir ya, Nduk. Kakek dan Nenek akan mendukung keinginanmu untuk masuk sekolah pelayaran. Kamu bisa pergunakan tabungan Kakek untuk biayamu berangkat ke sekolahmu nanti.”
***
Berkat tabungan Kakek, akhirnya aku bisa berangkat menuju Semarang untuk melanjutkan niatku belajar di sekolah pelayaran yang ada di kota itu. Tak mudah memang jalan yang harus aku lalui untuk bisa menjadi seorang teknisi kapal. Selama bertahun-tahun aku harus berjuang memeras otak dan keringat di sekolah pelayaran tersebut. Di sana mentalku benar-benar dibentuk menjadi lebih kuat.
Di sekolah pelayaran itu aku tak hanya belajar mengenai pengetahuan tentang mesin kapal dan kelautan semata. Kekuatan fisikku juga dibentuk melalui berbagai pelatihan rutin. Warna kulit yang menggelap tak lagi menjadi persoalan bagiku. Rasa lelah yang mendera akibat latihan fisik terkadang harus dikesampingkan demi mengejar nilai terbaik di kampus. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang telah kuterima ini. Karena mimpiku terbesarku ialah bisa membahagiakan kakek dan nenekku.
Benar kata pepatah yang mengatakan bahwa “Hasil tak akan mengkhianati usaha”. Karena pada akhirnya segala upaya dan kerja kerasku itu membawa hasil yang menggembirakan. Setalah berhasil menjadi lulusan terbaik di angkatanku, aku pun segera direkrut oleh perusahaan kapal milik negara sebagai salah satu teknisi yunior di salah satu pelayaran di kawasan Indonesia Timur.
Kenyataan di dunia kerja memang tak semudah teori yang kita terima semasa belajar dulu. Karena pada kenyataannya masih ada saja yang kerap meragukan kemampuan perempuan yang terjun di dunia pelayaran. Hal itu pula yang kurasakan di awal aku terjun sebagai teknisi kapal. Beberapa rekanku yang lelaki terkadang mempertanyakan kemampuanku membuka dan memasang baut kapal yang berat untuk ukuran kebanyakan perempuan. Tapi aku tak peduli dengan segala keraguan itu. Aku berusaha menunjukkan kemampuanku seoptimal mungkin. Hingga mereka pun akhirnya mengakui kemampuan yang aku miliki. Dan, dengan kemampuan yang aku miliki itu pula perlahan-lahan karierku melesat ke atas.
Peningkatan karier nyatanya mempengaruhi isi kantongku. Walau demikian, jumlah uang yang aku miliki sama sekali tak mengubah kepribadianku. Mimpiku masihlah sama yaitu membahagiakan Kakek dan Nenek. Dengan uang tabunganku, aku memperbaiki rumah Kakek dan Nenek. Selain itu, aku juga mewujudkan keinginan mereka untuk melakukan ibadah haji. Tak ada kebahagiaan yang lebih besar yang kudapatkan selain melihat senyum haru mereka sepulang dari Tanah Suci.
Terkadang hidup terasa begitu ironis karena sebaik apa pun kita bersikap, tetap saja akan selalu ada cela di mata orang lain. Hal itu pula yang kualami dengan keluargaku Pak De Luhung. Aku sendiri tak mengerti mengapa istri dari Pak De Luhung sering sekali mencari persoalan denganku. Selalu ada saja ucapannya yang menyindirku.
Seperti yang terjadi setahun yang lalu waktu aku pulang ke rumah Kakek. Saat itu bertepatan dengan perayaan Idul Fitri. Seluruh anggota keluarga besar kami sedang berkumpul di ruang tamu. Tiba-tiba Bu De berkata, “Ngomong-ngomong, kapan nih Linda bawa calon suaminya? Masa sampai sekarang kamu belum juga menikah juga? Jangan bilang kamu enggak mau menikah. Makanya dulu kan Bu De sudah larang kamu untuk berlayar, jadinya kayak gini tho belum nikah sampai sekarang.”
Bapak seketika keluar dari ruangan saat mendengar perkataan kakak iparnya barusan. Sementara Ibu, wajahnya tampak muram, dan matanya terlihat nanar. Sejujurnya aku merasa sedih melihat reaksi ibu dan bapakku itu. Tapi aku berusaha agar tidak terpancing dengan ucapan Bu De yang tajam itu. Aku menghela napas lalu berkata, “Tenang Bu De, saya ini masih perempuan normal kok. Saya masih perempuan yang sama seperti dulu, sebelum menjadi pelaut. Tak perlu khawatir, saat saya menikah nanti, Bu De adalah orang pertama yang akan saya kirimi undangan.”
Aku pun mencoba memberikan senyuman terbaikku pada Bu De Luhung. Walau kemudian senyumanku dibalas dengan dengusan, tanda kekesalan darinya. Tapi aku cukup puas karena bisa menguasai diriku sendiri di tengah situasi panas yang sengaja disulut oleh Bu De. Setidaknya, setelah itu ia tak lagi berani menyinggung masalah pribadiku di depan banyak orang.
Sebuah getaran terasa dari kantung celanaku saat kapal mulai bersandar di pinggir pelabuhan. Aku merogoh kantung celana lalu mengambil ponsel yang sedari tadi tersimpan di sana. Sebuah nama tertera di layar teleponku itu. Amal, laki-laki yang beberapa tahun belakangan ini bergaul akrab denganku. Laki-laki belakangan ini membuat dadaku seketika bergetar karena rasa cinta. Sikapnya yang sabar dan pengertian membuatku merasa nyaman bergaul dengannya.
Dengan segera aku usap layar itu, dari seberang terdengar suara Amal yang berkata, “Halo, Linda. Sekarang kamu sudah sampai mana? Gimana kabarmu?”
Aku mencoba bersikap setenang mungkin meski dada ini masih saja berdebar dengan kencang. Jawabku kemudian, “Kapalku baru saja sampai di Pelabuhan Ambon. Kemungkinan kalau tak ada halangan 2 atau 3 hari lagi kami sampai di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.”
“Oh, seperti itu. Ya sudah, nanti kamu aku jemput di Surabaya. Setelah itu, kita berangkat bareng bapak dan ibuku ke rumah Kakek untuk bertemu keluarga di sana. Pokoknya semua sudah kubicarakan dengan Kakek. Pokoknya kamu jangan lupa jaga kesehatan, biar semua rencana kita berjalan dengan lancar ya,” janji Amal padaku.
Obrolan demi obrolan pun mengalir begitu saja tanpa terasa, hingga waktu keberangkatan kapal yang kemudian menyudahinya. Dadaku masih terasa berdegup-degup meski sambungan telepon telah terputus. Perasaan bahagiaku menghadirkan rasa syukur yang tiada habisnya akan keajaiban rencana-Nya. Aku amat bersyukur karena telah berhasil melewati setiap gelombang kehidupan. Nyatanya gelombang-gelombang itu membawaku pada kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Aku berharap semua rencanaku dan Amal untuk mengikrarkan janji sehidup semati akan direstui oleh Sang Pencipta. Semoga dengan hadirnya Amal sebagai pendamping hidupku nantinya, akan menghilangkan seluruh pandangan miring orang tentangku dan pekerjaanku sebagai seorang pelaut. Perempuan tetaplah perempuan. Kesejatian seorang perempuan tak seharusnya dinilai dari sebuah pekerjaan yang dilakukannya. Karena setiap perempuan berhak untuk memilih jalan hidup yang dipandangnya benar dan baik bagi kehidupannya serta orang-orang yang dikasihinya.
Penulis bernama lengkap Susana Febryanty Emelda Sondang Bertuah ini biasa dipanggil Susan. Terlahir di kota Jayapura, Papua. Ia menghabiskan masa kanak-kanak hingga remajanya di Papua sebelum kemudian memilih ia untuk berkuliah di Fakultas Psikologi di salah satu PTS yang ada di Yogyakarta. Selepas kuliah, sempat bekerja secara freelance sebagai make up artist. Tahun 2008 adalah awal ia berkecimpung di dunia kepenulisan. Sempat menjadi wartawan di sebuah tabloid di Jakarta. Ia pernah pula menjadi content writer beberapa perusahaan di Yogyakarta Dan, akhirnya kini ia memilih untuk menjadi penulis lepas. Temui dan sapalah ia lewat akun Instagramnya: @perempuan_menulis.
Bagikan tulisan ini:
Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai
Copyright © 2022. All rights reserved.