Cerpen – Rahayu dan Lubang di Dada Ibu

Rahayu dan Lubang di Dada Ibu

"Saya harus mengatakan berapa kali kepada ibu, kalau dari awal saya memang tidak mau. Saya merasa kami tidak sejalan." Tuturnya seraya meringkus piring dan perabot dapur yang kotor menuju kran di bawah pohon jambu. Meletakkannya begitu saja hingga menimbulkan gemeretak getar piring dan wajan. Setelah ibunya lagi-lagi menanyakan perihal Barjo.

Demikian pagi itu jatuh. Menyesak debar yang saling tubruk dalam dada. Sementara ternak dalam kandang di belakang rumah sedang menunggui ibu yang tengah termenung itu untuk membawakan nasi basi, atau apalah untuk mereka makan. Adalah Rumana, ia tetap tertegun di atas lincak dalam dapur sambil melirik anak gadisnya yang berjongkok pada busa-busa dan sekeranjang perabot kotor.

Demikian pagi itu jatuh. Mengubek emosi yang meletup didada Rahnawi, bapaknya. Sambil tetap menumbuk laro pada lesung tua peninggalan buyutnya. Pikirannya mengambang dalam gamang. Ada pucuk emosi yang meruncing. Meruahkan panas dalam dadanya. Leleh lewat sudut mata tuanya. Tetapi segeralah dihapusnya. Bunyi lesung itu terdengar sumbang dan bergetar. Sambil sesekali melihat anak gadisnya yang berjongkok di samping kran air.

Demikian pagi jatuh. Sepagi-paginya hari, sedini-dininya waktu. Menambah perih dan letih dalam kalbu. Ia tak tahu, apa ucapan macam tadi pantas ia sodorkan pada ibu yang puluhan tahun memangkunya dalam dekap hangat. Ia tak tahu lagi, sebodoh-bodohnya Ayu, begitu ia dipanggil. Seletih-letihnya ia dirundung cemas dan resah.

Demikian pagi itu jatuh. Melumerkan air mata yang berwaktu-waktu disimpannya dalam palung paling dalam. Menyempitkan dada sepuhnya yang kian dimakan waktu pun penyakit. Ia meringkuk, mendengar smaar-samar deru air yang berdebam mengenai panci dari kran itu. Kokok ayam yang meraung dan bunyi gentong yang sumbang lagi bergetar. Ia tetap meringkuk, menghapus air matanya satu-satu. Tak mampu ia bangun untuk sekadar melihat cakrawala ke luar pintu.

###

Rumana menimbang. Ia bukan tak tahu pada apa-apa yang dibincangkan tetangganya. Bahkan cabai semangkuk yang diulek itu dikalahkan rasanya. Ia bimbang, memikirkan anak gadis satu-satunya yang sudah menginjak usia dua puluh tahun. Sebentar lagi akan selesai sekolah lalu menikah. Begitu dalam pikirnya, dulu. Kali ini ia menimbang lagi pikiran-pikiran itu. Dengan ruang dada menyempit dan menyesak.

Begini ceritanya. Dua tahun yang lalu menjelang akhir bulan Safar, ada dua orang lelaki yang bertamu di malam menjelang Isya'. Duduklah dua orang itu di emper rumah, disuguhi kopi dan gorengan pisang. Kebetulan hujan sedang mendaras rinainya. Jatuh berdebam-debam di atap rumah. Setelah ditanya maksud kedatangan, tersampaikanlah bahwa seseorang hendak memetik bunga yang sekian tahun tumbuh ranum dirawat keluarga tersebut.

Lama berselang waktu, akhirnya, melalui rembuk dengan keluarga, jadilah proses pertunangan itu dengan sangat sederhana. Tak ada petasan-petasan disulut sumbunya untuk mengabarkan pada tetangga atau kampung sebelah mengenai kabar bahagia bahwa satu bunga telah dipetik orang. Tak ada jajanan tradisional macam rendang, lemper sebagai hantaran lamaran dan ungkapan syukur kepada sang Kuasa. Tak ada pakaian-paikan untuk pihak perempuan sebagaimana kebiasaan kampung itu. Tak ada kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan. Pertunangan itu, seakan ditutupi dari tetangga di kanan kiri. Kendati memang benar, sepandai-pandai tupai melompat pasti terjatuh pula. Dan orang-orang mulai asyik bergunjing. Di warung-warung, atau sambil mencari kutu di kepala.

Sementara Rahayu bagaimana?. Tanya salah satu ibu di arisan setengah berbisik. Ia telah menolak secara halus supaya laki-laki bernama Barjo itu dipadamkan niatnya. Pada Rum, Ayu pun telah mengungkapkan semuanya. Bahwa perkenalan dengannya hanya sebatas teman.

"Lagi pula, kami tidak pernah bertemu, kenalpun di facebook. bagaimana bisa dia bilang kami menjalin hubungan?." Dan ibunya hanya mendengar keluh yang meluap itu.

###

Rahayu pun menimbang. Ia bukan tak tahu apa-apa yang dikatakan bibi, paman dan sepupu-sepupunya. Emosinya yang memuncak di ubun berhasil ia tahan, kecuali pada ibu bapaknya. Baginya, masa lalu yang dilalui sudah cukup menjadi pelajaran berharga. Bahwa persoalan jodoh tak perlu diperundingkan manusia sekehendaknya. Tak perlu dipaksa-paksakan secara sepihak.

Hingga dua tahun pertunangan ia belumlah bisa membuka hati. Jangankan membuka hati, bermain ke rumah mertua kala lebaran tiba ia tak sudi. Sekalipun ia tahu, ada beban yang menumpuk di bahunya dari keputusan itu. Dan ibu bapaknya meluapkan emosinya begitu dalam, membanting pintu. Ia hanya meringkuk di atas dipan mendengarkan segala hal menyedihkan pecah siang itu. Mendengarkan seluruhnya sebab kesalahan yang dijatuhkan padanya. Ia terima, sebab ia yang menolak sekalipun keluarganya menerima. Lebaran-lebaran yang seharusnya arif itu malah menjadi naif dalam keluarganya.

"Jangan permalukan ibu bapak, Yu." Pintanya tanpa sedikitpun menoleh pada Ayu dengan mata sembab.

"Dari awal Ayu kan sudah bilang tidak, Bu. Pada lelaki itu juga Ayu bilang tidak!. Dianya saja yang ganjen." Mendengar itu ibunya makin marah. Kalap.

"Kalau begitu, kamu tak patuh orang tua. Tak ada guna sekolah tinggi-tinggi. Sudah, Rum. Tak usah turuti lagi apa keinginannya. Terserah dia." Potong si bapak tak kalah sengit. Dada Ayu terkesiap. Ada renyuh perih. Tapi ia tetap meringkuk. Tak beranjak. Membiarkan hatinya perih sambil beristighfar. Membiarkan laki-laki itu menunggu di teras rumah. Neneknya yang rambutnya telah memutih, tergopoh-gopoh membisikinya suatu hal, jangan bantah bapakmu. Katanya.

"Biarkan!." Sambut Ayu berang. Dan neneknya padam, layu.

Begitulah suatu ketika di hari hewan-hewan disembelih sebagai kurban. Dan lantunan takbir bergema di sudut-sudut desa. Hingga lebaran-lebaran selanjutnya.

###

Ia tak tahu itu karma apa. Seingatnya, ia tak pernah berbuat demikian pada ibunya dulu. Satu-satunya suami yang ia miliki ya hanya si bapak Ayu itu. Setiap salat ia mendaras doa agar hati anaknya dibukakan. Di seberang kota, Rahayu pun demikian. Ia mendaras doa agar hati ibunya dilunakkan. Barangkali doa-doa itu saling bertabrakan di udara. Saling berdebat siapa salah dan benar. Namun hingga ikatan itu genap dua tahun, doa-doa itu tetap belum sampai ke angkasa, hubungan itu tetap saja bersikokoh dan menunggu. tetap utuh dan tak rubuh. Seperti pohon yang terus menjulang sekalipun batang-batangnya ditebang. Rahayu muak mengingat banyak hal yang telah dilakukannya, dikorbankannya. Seluruh usahanya seakan tak kunjung temukan hasil yang diingin. Seperti pemuda pengangguran yang mulai malas mencari pekerjaan. Lewat akun sosial berulangkali ia kirimkan pesan-pesan bernada pedas pada Barjo. Tapi ia abay, malah bersikokoh mempertahankan Rahayu. Membuat kening Rahayu semakin berkerut. Dasar orang gila!, umpatnya suatu ketika.

Bagaimanapun caranya, yang penting Rahayu harus mau. Begitu yang ada dikepala-kepala dalam keluarga Rahayu, pun dalam keluarga Barjo. Teruma, Rumana, Ibunya. Sekalipun beberapa norma atau tradisi diterabasnya. Entahlah, ia kalap. Barangkali terlanjur mengatakan anaknya tentu bersedia dipersunting Barjo yang menjadi salah satu alasan keteguhan itu. Namun nyatanya, hingga dua tahun laki-laki itu menunggu, Rahayu tetap acuh, angkuh. Begitulah perempuan itu bersikukuh.

Pada malam lain, malam kepulangannya ke rumah, malam yang disebut jahanam olehnya dalam buku catatannya. Malam yang kian menumpuk sekian sengit dalam dadanya pada laki-laki bernama Barjo itu. Sekaligus melumerkan air mata hingga Subuh menyambut lewat qiraat dari pengeras suara di masjid. Ia sesak menahan isak. Pukul satu dini hari itu, ada seorang lelaki yang memasuki kamarnya, mengoleskan minyak wangi pada punggung tangannya. Ia terkesiap, terbangun dari mimpi dan langsung duduk. Tercenung, sambil mendaraskan ayat kursi dari lubuk hatinya yang paling dalam. Begitu yang ia ingat dari seorang kiai, bacalah ayat kursi, Nak. Ia meringkuk mendekap lutut. Menyebut nama Allah berulangkali. Pandangannya rabun oleh air mata. Jika ditanya siapa lelaki itu, ia bahkan dapat menjelaskannnya secara detail. Dari mulai kopiah, sarung merah hati, hingga jaket model terbaru yang digunakannya. Hatinya mengutuk, dia bukan bapakku. Bapakku tinggi kurus, tua. Bukan badan tegap anak muda. Bukan pakaian modis anak muda. Saat mendengar bunyi pintu yang berdenyit entah dibuka atau ditutup ia kembali tidur. Pura-pura tidur. Ada pikiran yang berkecamuk dalam dadanya. Bahkan pepatah cinta ditolak dukun bertindak terus membayanginya.

Pada salah seorang teman yang akrab sejak duduk dibangku SD ia bertanya perihal minyak itu. Minyak yang hingga pagi hari tetap menguarkan aroma kemenyan, sekalipun dibilas dengan air wudu' dan digosok dengan sabun mandi. Bau itu tetap menguar dan tak mau pergi. Seperti si Barjo sialan yang tetap teguh itu.

"Yang ku tahu, barangkali itu Bulu Perindu"

"Apa itu, San.?"

"Yu, dalam ilmu demikian ada banyak tingkatan dan istilah. Demi meluluhkan hati seseorang, dapat melalui bantuan orang lain, pun ada pula yang harus dilakukan sendiri olehnya. Seperti menyentuh, menatap mata dan lain-lain. Kau kenapa sih, tiba-tiba bertanya itu?."

Hari-hari setelah itu ia memilih diam. Dirinya padam. hatinya mencelos. Tulang dilehernya terlihat semakin jelas. Ada laju kesedihan yang tiap kali mengalir tanpa bisa ditahannya. Ditambah ingatan tentang masa lalu yang begitu pilu, yang tiba-tiba menubruk ingatannya lagi. Ia kalut. Air matanya menderas. Ia yakin, jauh sebelum malam jahanam itu, keluarganya telah lebih dulu membubuhkan serbuk jampi-jampi dari dukun melalui makanannya, diselipkan di bawah bantal, atau dioleskan pada pakaiannya. Tapi ia teguh, sebab ia yakin itu semua telah dilakukan demi meluluhkan hatinya.

###

Rumana kesal setengah menyesal. Melihat diri anaknya yang diam dan padam. hatinya menjadi pilu melihat anak-anak seumuran Rahayu yang binar kerling matanya. Dan ia tak temukan itu dikerling mata putrinya. Wajahnya layu dikungkung setumpuk pilu. Sesungguhnya ia kasihan, tapi bagaimana ia akan memutuskan pertunangan itu? tidak mungkin. Tidak bisa.

Sekalipun doa-doa di giring menuju angkasa melalui bantuan kiai dan dukun, namun Rahayu tetap teguh, tak luluh. Seperti dugaannya, ia tahu di mana saja ibunya meletakkan serbuk dari dukun-dukun itu. Ia tahu dan menjadi yakin. Muak dalam hatinya.

Laki-laki itu baginya tak lebih dari bajingan keparat. Dahulu saat ia menyatakan keinginan meminang Rahayu, ia telah menolak secara halus, dan mengatakan bahwa sedang menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi si Barjo berujar.

"Sekalipun begitu. Tapi aku rasa tetap dapat diterima bila ke rumahmu." Siang yang keparat itu dada Rahayu berdesir. Ketakutan dan tantangan mulai bercokol di kepalanya. Hingga akhirnya, entah bagaimana alur yang dilewati, ia dan Barjo telah bertunangan. Begitulah penuturan orang-orang, sekalipun bapak dan ibunya tak pernah menjawab hal itu.

Sebagai perempuan desa yang lekat dengan tradisi dan adat leluhur Madura, ia harus siap menghadapi celoteh pedas kerabatanya, bibinya, pamannya dan sepupu-sepupunya. Atau siap dengan gunjingan tetangga dan kampung sebelah. Perempuan itu keras kepala, ia tak pernah ikuti kata keluarga soal demikian. Ia tak pernah ikuti ritual dan tetek-bengek lainnya mengenai bertunangan. Hubungan dengan ibu bapaknya jadi semakin renggang dan senggang.

"Bagaimana bila aku tak ikut wisuda?." Pertanyaan itu terdengar seperti ancaman di gendang telinga Rum. Dan ibunya nangis-nangis. Ia pun akhirnya menangis.

"Ibu selalu janji, selalu membual. Tapi hubungan itu tetap utuh dan tak gagal hingga kini." Tuntutnya.

"Yu, tak ada yang datang ke rumah dan memutus pertunangan itu. Kamu perempuan, Nak. Ibu dan bapak tak dapat berbuat lebih. Perempuan terlalu beresiko tinggi untuk hal itu. Ibu khawatir, khawatir kamu...." dan ibunya tersedu.

Rahayu hanya menunduk. Ia tahu, bagaimana keresahan-keresahan ibunya. Iya tahu bagaimana hal-hal mengerikan mengenai bertunangan. Ia diam dan lebih padam menjalani hari-harinya kemudian.

"Kau harus menikah, Yu. Setelah itu terserah, bercerai pun tak apa."

"Untuk memutuskan pertunangan, tidak harus menempuh pernikahan yang ujung-ujungnya bercerai, Bu." Keluhnya, lagi penuh amarah.

Ibunya tak menjawab. Tapi ia tahu apa saja yang bercokol dikepala ibunya. Ibunya, barangkalipun tahu apa saja yang bercokol di kepala anak gadisnya. Tapi dalam hati, Ayu tak menghawatirkan dirinya, ia justru mengkhawatirkan ibu dan bapaknya. Dan kenangan masa lalu itu kembali menggebu. Ia tersedu.

###

Namun rencana tetaplah rencana. Usaha tetaplah usaha. Dan doa tetaplah harapan. Akad harus diteruskan, pernikahan dilanjutkan. Orang-orang sekampung bahkan kampung sebelah terus membincangkan Rahayu dengan mata sayu. Ia benar-benar padam. Pada pipi tirus itu dapat ditemukan suatu bukti. Menjelang hari-hari pernikahan ia diam. Dan bapak ibu tak berani memandangnya berlama-lama. Si nenek juga demikian, kendati tersimpan keinginan besar tetap menyatukan mereka.

Pernikahan adalah hal yang sakral, bukan main-main. Begitu yang ia ingat dari salah satu gurunya saat mendaras kitab Qurratul Uyun di bangku sekolah dulu. Dalam masa padam itu ia teringat masa lalunya. Dan hatinya menuntut seolah menuntunnya ke waktu yang sama, ke jalan yang harus ia tempuh. Aku harus tenang. Dan orang-orang jangan menangkap arah pikirku.

Benar saja, dibujuk masa lalu dan hal-hal mengerikan lainnya ia yang diam-diam tiba-tiba naik pitam. Dua hari sebelum tanggal itu, saat aroma bumbu yang telah diulek menguar ke lubang hidung, kue-kue tradisional dimasukkan dalam bungkusan dan lulur dalam plastik yang belum sama sekali disentuh masih digantungkan pada paku di belakang pintu kamarnya. Ia meninggalkan rumah. Jauh. Begitu jauh.

Hanya berpesan bahwa sungkemnya hanya untuk ibu-bapak. Ia tak mau. Kapok pada petang empat tahun silam. Kapok pada kursi panas pengadilan. Kapok pada bunyi palu, pada pertanyaan-pertanyaan yang mendebarkan dan kadang memalukan. Ia tak sanggup bila harus mengulang memori itu lagi. Ia tak sanggup. Ia tak mau bercerai lagi. Ia tak sanggup disebut-sebut janda lagi, sekalipun belum mengalami hubungan persuami-istrian, dulu. Ia tak sanggup.

Ia tahu, kalimat-kalimat menyakitkan akan segera menghadangnya. Gunjingan-gunjingan tetangga, pandangan-pandangan sinis kerabatnya sebab dianggap telah mempermalukan keluarga. Ia tahu, dan ia telah biasa demikian. Biasa dianggap salah. tapi yang ia pikirkan, apa dada ibunya mampu menanggung gunjingan dan cemoohan itu? Rahayu megerjap, melahirkan bulir hangat dari kelopak matanya. Sepanjang jalan ia memikirkan pertanyaan terakhir itu. Apa dada ibu mampu menampung semua itu?, apa dada ibu mampu menampung semua itu?, sementara ia telah begitu perih mengoleskan luka. Ia terus menangis sepanjang jalan. Melewati persawahan, pertokoan, terminal. Hingga kondektur menepuk bahunya.

"Tujuan mana, Neng?." Rahayu bingung, geragapan. Ia harus turun sekalipun langkahnya limbung. Sambil terus membayangkan apakah dada ibunya mampu menampung hal itu?.[*]

Laro: Kulit kayu yang keras ditumbuk untuk mengharumkan air nira sebelum dimasak.

Lemper: Jajanan tradisional Madura, dibuat dari ketan berbentuk bundar, di isi daging ayam dilumuri telur dan digoreng. Menjadi ciri khas kue utama dalam pertunangan.

Bulu Perindu: Suatu benda berupa potongan ranting kecil yang disematkan dalam botol berisi minyak. Khasiatnya untuk meluluhkan hati seseorang. Sebab biasanya manjur, barang ini tergolong mahal.

Nisa Ayumida

Penulis lahir di Sumenep 10 Oktober 1997. Salah satu penggerak Forum Literasi Santri (Frasa) PP. Annuqayah Lubangsa Putri, alumnus Instika Guluk-guluk Sumenep Madura. beberapa cerpennya dimuat di media online, salah satunya Basabasi.co. Sebagai Nominator Cerpen Pilihan Festival Sastra Bengkulu 2019. Juara 1 Menulis cerpen tema "Ayu" Project Amal Pustaka Galeri Mandiri bersama Ridha. Blog pribadinya: taniyanlanjhangblogspot.com

Mau Tulisanmu Kami Muat?

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

Nama Saya Rani, Bukan Ran

KAMU tahu, nama saya Rani. Sekarang jam tangan saya menunjuk angka 3.40. Dua puluh menit dari sekarang kamu akan sampai, dan saya akan menunggu.

One Last Kiss For Goodbye

"DAN apakah kau tidak menginginkan sesuatu untuk dirimu sendiri? Cinta, persahabatan, keluarga, or let me make it more realistic. Materi?"

Similar Posts