Cerpen – Simbok

Simbok

"SIMBOK itu ndak akan ngerti..." Mulutnya berkecumik. Kalimat yang baru saja diucapkannya itu tidak terdengar jelas oleh simbok. Bahkan oleh dirinya sendiri. Kecumiknya itu lirih sekali. Teramat lirih untuk bisa dimengerti oleh perasaannya sendiri. Masih sepagi ini, Widuri sudah nggrundel di samping simboknya. Hatinya memanas seperti air mendidih dalam jerangan. Sesekali simbok membenahi kayu dan memasukannya ke dalam tungku. Dengan bantuan sebilah kayu, tangan kanannya mengeluarkan beberapa arang di dalam tungku yang dirasa mengganggu. Sedang mulutnya sibuk meniup semprong yang terbuat dari bambu agar apinya tetap menyala. Simbok tidak memperhatikan Widuri yang wajahnya mendadak berubah seperti jarit yang dikenakannya, kusut.

Widuri masih sibuk memotong brambang, bawang, lombok dan menyiapkan beberapa bahan dapur lainnya untuk memasak sayur lodeh. "Nduk, wes nyiapke jawabane opo durung?" Simbok mulai membuka percakapan. Simbok terlihat menggeser dingklik miliknya untuk lebih dekat dengan Widuri. Widuri hanya terdiam. Kini yang terdengar hanyalah irama potongan brambang yang semakin cepat. Ia sedang tidak enak hati untuk bicara. Hatinya masih dilanda dilema. Widuri takut jika kata-kata yang keluar malah akan melukai perasaan simbok. Simbok selalu mengajarinya menjadi perempuan yang mengerti tatakrama saat bicara dengan yang lebih tua. "Saenipun pripun, Mbok? Widuri nderek mawon." Widuri mulai memberanikan diri membuka suaranya yang sedari tadi ia sembunyikan. Semburat keterpaksaan muncul di wajahnya. Ia tidak yakin dengan kalimatnya sendiri pun keputusannya.

***

Semalam, Adimas datang lagi ke rumah Widuri. Untuk kesekian kalinya, ia menanyakan perihal pinangannya kepada Widuri yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Sudah terhitung lima purnama terlewati. Widuri masih bungkam. Hatinya sangat koyak jika ditanya perihal pernikahannya dengan Adimas. Simbok sangat prihatin dengan nasib gadis semata wayangnya itu. Tubuh renta itu hanya menginginkan yang terbaik untuk Widuri – anak gadisnya yang dibesarkannya seorang diri. Bapak Widuri sudah meninggal sejak Widuri masih bayi. Simbok hanya ingin melihat Widuri menikah dan dikaruniai seorang cucu. Hanya itu harapan simbok.

Adimas. Laki-laki ini berperawakan tinggi-besar. Dadanya terlihat bidang. Wajahnya kebas. Orang-orang mengatakan senyumnya kelewat menawan dengan kumis tipis yang mereka sebut eksotis. Adimas sudah tidak bisa dikatakan muda lagi. Usianya sudah memasuki kepala empat. Ndoro Adimas, begitu orang-orang memanggilnya. Jika dihitung dalam tatanan kasta sosial, Adimas menduduki kasta priyayi. Kekayaannya jangan ditanyakan lagi. Kebanyakan, sawah di desa Widuri itu pemiliknya adalah Adimas. Rumahnya gedongan. Tanahnya di mana-mana. Setidaknya, beberapa memang warisan orang tuanya. Adimas telah dinobatkan menjadi orang terkaya di desa Widuri.

Laki-laki tambun ini sedang mencari istri. Istrinya meninggal satu tahun yang lalu. Enam bulan setelah kepergian istrinya ia sudah tidak lagi berkabung. Adimas sudah sibuk mencari istri baru. Hasrat laki-lakinya menginginkan gadis muda, yaitu Widuri. Paras ayunya mampu membuat Adimas tergila-gila kepadanya. Bagaimana tidak, Widuri yang sudah beranjak dewasa ini memiliki tubuh yang molek. Buah dadanya yang dulu rata sekarang nampak menyembul di balik jarit yang ia kenakan. Pipinya terlihat gempal. Lesung pipitnya ikut merekah saat senyum itu terbit pada bibir merahnya. Gadis Jawa ini selalu menggelung rambut panjangnya yang sudah sepanggul. Entah, kepolosan Widuri mampu mengusik hati Adimas. Ia sangat mendambakan istri seperti Widuri.

"Widuri, kau sudah tahu kan maksud kedatanganku kemari? Kau sudah siap memberikan jawabannya?" Widuri hanya menunduk. Terdiam. Sesekali kepulan asap rokok keluar dari mulut Adimas. Sungguh laki-laki tua yang tidak tahu diri. Batin Widuri mengumpat. "Emm. Anuu... Mas Adimas, Emh, maksud saya Ndoro... Saya..." Widuri terbata-bata. Kata-katanya memang belum selesai dan sengaja dibiarkannya menggantung. Memaksa Adimas untuk memotong ucapannya. "Begini saja. Aku akan menunggumu sampai kau berubah pikiran. Aku pamit!" Widuri masih terpaku di tempat duduknya. Langkah Adimas semakin menjauhi pelataran rumahnya. Tubuhnya menghilang di keremangan malam. Menyisakan suara keheningan.

***

Sejak dulu, Widuri hanya mencintai Sarwono. Simbok tidak pernah setuju dengan hubungan keduanya. Kisah cintanya terhalang weton. Simbok sudah menghitungnya beberapa kali dan menemui hasil yang sama. Apabila weton keduanya disatukan hanya akan menemui kesialan di dalam rumah tangga. Dalam memutuskan sesuatu, simbok selalu melakukan perhitungan dengan cara kejawen. Simbok percaya bahwa garis kehidupan manusia sudah ditentukan sejak lahir.

"Dik Wid, aku tidak rela kau menikah dengan laki-laki bangkotan itu. Suaranya terdengar panik.

"Mas, Widuri harus bagaimana? Simbok sudah welingwong Jowo iku ora oleh ilang Jowone. Ndak ilok, Mas." Widuri menahan air matanya yang hampir luruh.

"Aku bawa kau keluar dari desa ini ya, Wid. Kita kawin lari saja." Tawar Sarwono.

"Jangan, Mas. Kita tidak boleh melanggar kepercayaan itu. Aku ndak mau rumah tangga kita nanti akan berantakan." Widuri mulai ketakutan dengan kepercayaan yang harus ia yakini.

"Aku tahu, Wid. Tapi, tidak adakah jalan lain?" Nada suaranya penuh harap. Widuri hanya menggeleng lalu melenggangkan kakinya. Widuri beranjak pergi dari hadapannya. Langit-langit hati Sarwono mendadak mendung. Seperti disambar petir berkali-kali. Bak hujan yang siap turun deras membanjiri setiap sudut relung hatinya, begitu juga pada kedua sudut matanya. Widuri meyakini bahwa jika pernikahan tetap dilakukan, maka rumah tangga mereka tidak akan bertahan lama. Bahkan yang lebih ditakutkannya adalah kehilangan salah satu anggota keluarga keduanya.

Beberapa bulan sebelumnya, Sarwono datang ke rumah Widuri, menemui simbok. Mengutarakan beberapa maksud dan tujuan untuk melamar kekasih pujaannya, Widuri. Sejak tubuh Sarwono tertangkap oleh kedua mata cokelatnya sedang berjalan menuju rumahnya, senyum Widuri mengembang tidak keruan. Sampai saat dimana pertanyaan soal weton mengganggu pikirannya.

"Sar, kamu mau melamar putriku? Simbok boleh tanya? Wetonmu opo?" Widuri tercengang. Dahinya berkerut. Ia mencium gelagat tidak menyenangkan dari simboknya. "Minggu Wage, Mbok." Kedua mata Sarwono membulat. Tidak sabar mendapat restu dari simbok. Hening. Simbok menatap nanar ke arah lain. Widuri terhenyak mendegar jawaban Sarwono. Ia tentu tahu betul perhitungan Jawa. Simbok sudah mengajarinya sejak dulu. Benar saja, sejak Widuri tahu wetonnya adalah Selasa Legi, ia gelisah tidak menentu. Bagaimana tidak? Jika dihitung secara kejawen maka weton mereka akan berhenti di satu angka yang bermakna pegat. Pipinya membentuk sungai, basah oleh air mata yang bercucuran. Simbok memutuskan untuk tidak menerima pinangan laki-laki yang dicintainya itu. Memang benar, Sarwono hanya lelaki miskin. Pekerjaannya hanya menggarap sawah milik Adimas. Sungguh malang nasibnya, jika kisah cintanya harus berakhir hanya karena weton.

***

"Perkenalkan ini Sri, Mbok!" sesekali Adimas menyesap secangkir kopi di hadapannya. Adimas datang lagi ke rumah Widuri. Kali ini, diedarkannya pandangan ke seluruh ruangan rumah Widuri. Ia tersenyum sinis menyaksikan dinding rumah Widuri yang hanya terdiri dari beberapa bilah kayu usang. Pintu yang sudah tidak memiliki engsel. Jendela yang berderak-derak tertiup angin. Dari tangannya ia ulurkan sebuah kertas. Tidak terlalu tebal. Warnanya kuning-kecoklatan. Terbaca jelas sebuah tulisan yang dicetak tebal di halaman depan. Sebuah undangan pernikahan pun melayang di atas meja. Adimas telah memutuskan untuk menikahi Sri -- gadis cantik dari desa seberang.

Simbok terhenyak. Suaranya tercekat. Dadanya sesak. Kakinya gemetar. Pandangannya berkunang. Yang terlihat hanya gelap. Seketika, ruangan berukuran tidak lebih dari 4 kali 4 meter itu hening. Senyap. Tak ada percakapan. Orang-orang mulai berdatangan silih berganti. Lamat-lamat terdengar beberapa orang sibuk mengurai air mata.

"SIMBOOOOKKK...MAAFKAN WIDURI." Widuri berteriak-teriak tidak keruan. Tangisnya menjadi-jadi. Hatinya kacau. Simbok pergi meninggalkannya. Entah mengapa penyesalan selalu datang terlambat. Widuri enggan menerima pinangan Adimas. Sedang Sarwono telah lama menghilang dari pelupuk matanya. Simbok telah berpulang sebelum keinginannya menimang cucu dari Widuri terpenuhi. Begitu cepat rindu bekerja menyesakkan dadanya. Bagi Widuri, simbok tidak pernah pergi. Ia meyakini sesuatu yang hilang akan selalu kembali dalam bentuk lain. Termasuk rindu di dalamnya.

 

 

*Cerpen ini memperoleh penghargaan harapan 1  Festival Sastra Jawa Tengah tahun 2019

Tika Lutfia Ningsih

Penulis lahir di Kab. Semarang 2 Juli 1996. Lulus S1 pendidikan Bahasa Inggris IAIN Salatiga tahun 2018. Sekarang mengajar di Mi Tarbiyatul Aulad Bergas. Penulis bisa dihubungi melalui email: tikalutfianingsih@gmail.com atau Instagram @tikalutfia_

Mau Tulisanmu Kami Muat?

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

Nama Saya Rani, Bukan Ran

KAMU tahu, nama saya Rani. Sekarang jam tangan saya menunjuk angka 3.40. Dua puluh menit dari sekarang kamu akan sampai, dan saya akan menunggu.

One Last Kiss For Goodbye

"DAN apakah kau tidak menginginkan sesuatu untuk dirimu sendiri? Cinta, persahabatan, keluarga, or let me make it more realistic. Materi?"

Similar Posts