
Salatiga, Jawa Tengah
+62 851 5645 7536
Art: etsy.com
“Inggih, Pa”, Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku menghela nafas panjang, ingin rasanya kubanting HP ini. Baru kali ini ada wali murid meneleponku tanpa basa-basi, tanpa salam dan tak ada sopan santunnya sama sekali.
“Anak-anak diingatkan, Bu! Biar gak jahil sama temannya, diajarkan etika, Bu! Ajarkan juga kalau mencuri itu dosa,” lanjutnya, dia terus mendikteku, menginterogasiku, seolah aku melakukan kesalahan yang fatal bagi putrinya. Seolah ini perkara besar yang tak bisa dimaafkan.
“Baik, Pa,” jawabku. Aku hanya beristigfar di dalam hati, berharap emosiku tidak terpancing. Biar yang di seberang sana menjadi api, dan aku harus jadi airnya, agar suasana tidak semakin memanas.
“Seharusnya sebelum pulang les, tas anak-anak digeledah saja! mungkin ada yang sengaja menyembunyikan sandal anak saya, kalau perlu diberikan hukuman, biar mereka gak terbiasa guyon berlebihan,” Dia masih terus berbicara seakan aku tidak punya hak untuk menyampaikan alasanku. Telinga ini rasanya panas, untunglah ada air di dekatku, aku sedikit menyeruputnya untuk mendinginkan hatiku.
“Ya, Pa, mohon maaf yang sebesar-besarnya, nggih,” Aku berusaha agar tidak meninggikan suaraku. Aku sadar betul kalau aku sendiri temperamen, sekali aku menyahut dengan suara keras, maka omelanku tidak bisa dihentikan siapa pun karena aku akui diriku seorang perempuan yang keras, bawel, cerewet dan gak suka basa-basi. Tapi kali ini aku harus berpikir dua kali untuk bersikap demikian, mengingat posisiku sebagai pemilik LBB yang mengharapkan murid-muridku betah belajar di tempatku, aku harus tetap ramah, tersenyum, dan bersikap manis. Aku sadar sepenuhnya, posisiku di bawahnya. Dia konsumenku, bagaimanapun konsumen adalah raja, apalagi usahaku bergerak di bidang jasa, maka pelayanan adalah hal yang utama, berbeda dengan orang yang menjual barang, bentuknya nyata, jika tidak suka dengan produknya beralih saja atau tinggalkan. Ditambah lagi wali muridku yang satu ini adalah seorang TNI Angkatan Darat, sehingga dia mungkin sangat merasa berhak untuk mengomeli dan memarahiku.
“Ya jangan sekedar minta maaf, Bu, harus ada konsekuensinya,” ancamnya.
“Huh! Geram rasanya menghadapi orang sombong satu ini,” Aku membatin sambil menahan emosi, tanganku gemetaran melawan gejolak di dada.
“Dia pikir Cuma dia yang bisa berkata kasar, belom tahu dia kalau ucapanku lebih pedas dari sambel matus,” Begitu batinku masih terus mengomel.
Lalu aku pun mulai menjelaskan setelah terdengar suara di sana mulai mereda dan menyelesaikan omelannya.
“Nggih, Pa, mohon maaf yang sedalam-dalamnya, selama saya mengelola LBB 20 tahun lamanya, baru kali ini ada kejadian seperti ini, ini yang pertama kalinya. Tidak pernah sebelumnya ada anak kehilangan sandal. saya juga tahu kalau ananda Lita pulang tidak memakai sandal, karena biasanya sebelum pulang anak-anak saya biasakan untuk bersalaman dengan gurunya berpamitan pulang. Sebelum ananda pulang saya dan teman-temannya Lita sudah mencoba membantu mencarikan tapi tidak ketemu. Saya juga sempat menasihati anak-anak untuk tidak jail sama temannya. Kemudian saya juga sudah menawarkan ananda untuk memakai sandal saya, bahkan saya mengajaknya ke warung sebelah untuk saya belikan sandal baru, tapi ananda menolaknya, mungkin bapak bisa menanyakan langsung pada Lita solusi apa saja yang sudah saya lakukan,” Aku menerangkan panjang kali lebar pada ayahnya Lita tentang kejadian yang sebenarnya.
“Ya sudah kalau begitu,” jawabnya singkat.
“Sekali lagi, mohon maaf, Pa, saya belum sempat menelepon bapak, karena dari tadi saya masih sibuk mencari sandal ananda,” Aku berusaha menjelaskan, tapi tak kudengar lagi suara di sana, mungkin ia sudah mengakhirinya.
***
Pukul 19.00 waktunya anak-anak pulang. Setelah berdoa, anak-anak bersalaman pada gurunya dan berpamitan pulang. Lalu, Semua berhamburan keluar. Aku keluar pagar menyaksikan anak-anak yang meninggalkan rumahku yang sekaligus dijadikan LBB (Lembaga Bimbingan Belajar) itu, aku memang biasanya mengantarkan kepergian mereka, karena bagiku mereka sudah kuanggap seperti anakku sendiri, aku mengawasi dan memperhatikan tingkah polah mereka. Bahkan jika ada yang belum dijemput pun aku biasa menemani mereka, bercerita dan berbagi makanan, karena kebetulan aku di rumah seorang diri, anakku semata wayang dari pagi sampai malam belajar mencari penghasilan sendiri, mencoba berwirausaha sendiri, ia memiliki toko sendiri menjual sepatu kets branded. Alhamdulilah ia memiliki dua pegawai yang membantunya.
“Bu, sandal saya gak ada,” ungkap Lita sambil matanya bingung mencari ke sana-kemari.
“Lho kok bisa, di mana kamu taruh sandalnya?” tanyaku heran.
“Di rak sandal, Bu, seperti biasanya,” jelasnya.
“Ayo dicari dulu, sekali lagi, cari di rak satunya,” Aku menegaskan.
“Sudah, Bu. Ini, Bu. Cuma ada satu,” Kilahnya sambil mengacungkan satu sandal jepit warna biru.
“Duh, anak-anak ini ada-ada saja,” Aku membantu mencari sandalnya sambil ngedumel.
Aku sibuk mencarinya sampai ke toilet, mushola, tong sampah, pekarangan sekitar LBB, ke halaman tetangga. Aku masuk ke kelasnya Lita, menemui sebagian anak-anak yang belum pulang karena mereka masih menunggu jemputan.
“Ada yang lihat sandal Lita gak, ini cuma ada satu, kuacungkan sandal tersebut.
“Gak tahu, Bu,” jawab mereka serempak.
“Saya anak baik-baik kok, Bu,” sahut salah seorang dari mereka.
“Huuuuuh, blagu luh, sok imut, cari muka,” temannya menimpali.
“Galang, Bu, yang sembunyikan sandalnya Lita, dia sentimen, Bu, dia kan pernah ditolak cintanya sama Lita,” salah satu anak menyeletuk.
“Hahahaha,” Tawa mereka pecah, sementara Galang terlihat memerah wajahnya antara marah dan malu.
“Sudah-sudah, ibu ingatkan kalian boleh bercanda, boleh saling menggoda temannya tapi jangan berlebihan, jangan seperti ini menyembunyikan sandal temannya, ini namanya bikin masalah, bagaimana kalau orang tuanya nggak terima, atau bisa jadi Lita marah dan mendoakan tidak baik buat si pelakunya. Padahal kalian datang ke sini untuk mencari ilmu, bukan mencari masalah, hati-hati lho yah, doa orang yang terdzolimi itu dikabulkan Allah, bagaimana kalau Lita kecewa kemudian mendoakan kalian tidak lulus ujian nasional, apa kalian mau nggak lulus UNAS?”
“Nggak mau, Bu, Jawab mereka sambil saling melihat satu dengan lainnya, kemudian terdiam.
“Ayo, sekarang periksa tas kalian masing-masing! Siapa tahu ada temanmu yang iseng menaruhnya dalam tasmu,” perintahku pada mereka.
Semua anak mulai membuka tasnya masing-masing menuruti anjuranku.
“Gak ada, Bu.” jawab mereka serius.
“Ya sudah, kalau kalian bukan pelakunya, atau jika sebenarnya ada yang melakukannya tapi malu mengakuinya, segera WA atau telepon Bu Hilda setelah ini ya! Ibu akan rahasiakan namamu, yang penting kamu jujur dan mau mengakui kesalahanmu,” pesanku pada mereka.
Mereka tak lagi berkomentar hanya saling melihat satu dengan lainnya.
“Sekarang jika kalian mengaku temannya Lita, ayo bantu Bu Hilda mencari sandalnya!” ajakku pada mereka.
“Ya, Bu,’ jawab mereka.
Kemudian mereka semburat mencari sandal yang hilang tersebut. Masing-masing dari mereka mencari ke tempat yang berbeda, mereka pun menyalakan senter dari HP mereka ketika mencari di tempat yang agak gelap, seperti di bawah pohon jambu, pohon belimbing dan pot-pot bunga yang berjejer di depan pintu masuk LBB. Walhasil sandal tak ditemukan.
Anak-anak pun satu persatu berpamitan pulang. Begitu pula dengan Lita akhirnya memutuskan untuk pulang juga, karena mulai turun rintik-rintik gerimis.
“Bu, saya pamit pulang saja,” katanya datar tanpa ekspresi.
“Lita, untuk sementara sampai menunggu sandalmu ditemukan, kamu pakai sandal Bu Hilda dulu ya, Nak, kamu pilih sendiri mana sandal Bu Hilda yang kamu suka, nih ada tiga pasang, ayo dipilih sesuai seleramu!”
Aku menawarkan sandalku karena kuperhatikan postur tubuh dan kakinya mirip denganku, tinggi 155-an, kurus dan bentuk telapak kaki sedang, tidak memanjang ataupun melebar, pas ukuran antara 38-39.
“Nggak usah, Bu, saya nyeker saja,” katanya sambil agak cengengesan tersenyum-senyum tanpa beban. Aku sendiri mengamati, sepertinya ia tidak begitu sedih atau mempermasalahkan sandalnya yang hilang. Ia terlihat biasa saja menyikapinya. Namun, meskipun demikian adanya, aku tetap berusaha bertanggung jawab dengan peristiwa ini.
“Kamu nggak cocok dengan saldonya, ya? Kalo gitu ayo ikut Bu Hilda ke warung sebelah! ibu belikan sandal baru saja,” bujukku walau kutahu sandalnya Lita sebenarnya sudah cukup usang.
“Gak usah, Bu, nggak pakai sandal gak apa-apa kok, dekat ini jarak rumahku dari sini, saya kan bawa sepeda motor sendiri,” sanggahnya. Mungkin dia sadar diri jika sandalnya tak pantas untuk diganti dengan yang baru.
“Saya pulang, Bu,” pamitnya sambil mencium tanganku.
“Ya, hati-hati,” nanti ibu sebarkan berita kehilangan sandalmu di grup WA, ya, mudah-mudahan besok sudah ditemukan,” Aku menenangkannya.
“Ya, Bu,” jawabnya.
Setelah anak-anak pulang semua, aku penasaran masih mencari sandal tersebut, berharap aku bisa menemukannya. Padahal cuaca gerimis, aku tak peduli, karena bagaimanapun aku harus ikut bertanggung jawab. Tapi kemudian hujan pun mulai deras, seolah ia memaksaku untuk menghentikan aksi pencarianku yang mulai lelah, kututup pintu gerbang, baru saja aku mau duduk, telepon berdering. Tertulis di sana, Papa Lita, aku angkat HP-ku, dan memosisikan diri siap mendengarkan apa pun itu.
***
Setelah pembicaraan di HP berakhir, secepatnya kufoto sandal yang tinggal satu itu, tiba-tiba mataku tertuju pada satu sandal selop berwarna kuning, aku foto berjejer, dan ternyata jadi sepasang kiri dan kanan, hasil jepretannya aku share di grup WA, lengkap dengan kalimat pemberitahuan kehilangan sekaligus dibumbui sedikit ceramah dan nasihat, berharap anak-anak yang jail sadar akan kesalahannya dan segera mengembalikan sandal tersebut.
Badanku terasa penat, urat-urat rasanya kaku. Mondar-mandir mencari sandal, tak terasa kuraba betisku keras, bertelur dan menghangat. Kuoleskan minyak tawon untuk mengurangi rasa pegal. Aku merebahkan diri sambil terus berpikir dan bertanya tanya dalam hati.
“Ke mana tuh sandal, kok bisa hilang tanpa jejak.” Sesekali aku membuka grup WA, berharap ada jawaban sehingga aku bisa tidur nyenyak malam ini. Berulang kali kulihat, tak ada komentar dari anak-anak. Inginnya aku tidur, tapi mata ini tak bisa dipejamkan, persoalan yang sepele ini menjadi ruwet gara-gara campur tangan ayahnya Lita.
“Kalaulah memang sendal jepit biru itu disembunyikan mengapa anak-anak gak ada yang mengaku, ya. Apa mereka takut aku hukum? setahuku mereka adalah anak-anak yang baik, nakal dan candanya mereka juga masih wajar, gak pernah kelewatan. Terus, kalaulah memang sandal selop kuning itu milik anak-anak kenapa tadi tidak ada yang merasa kehilangan, ya?” apa mungkin ada anak yang memakai sandal dengan pasangan yang salah? padahal jelas-jelas sandalnya beda, satunya sandal jepit sedangkan satu lagi sandal selop, kok bisa, ya? aneh sekali, apa separah itu anak-anak stres menghadapi UNAS sampai gak bisa merasakan jika sandalnya tertukar?” gumamku dalam hati.
Kini giliran pikiranku tertuju pada wajah Lita, si anak berkacamata minus itu. Aku jadi mulai merasa agak sebel sama si Lita yang ternyata hobi mengadu pada orang tuanya dan memperbesar masalah ini. Padahal sebelum pamit pulang, kelihatannya ia biasa saja, tak ada ekspresi kecewa di wajahnya. Ia juga masih sempat bercanda dengan temannya bahkan terlihat tidak sungguh-sungguh ketika mencari sandalnya yang hilang.
“Seharusnya sebagai anak SMA yang sebentar lagi akan kuliah, gak secengeng ini dalam mengambil sikap, harusnya nggak perlu melibatkan orang tuanya, toh ini hanya sekedar sandal jepit yang usang. Ah, ternyata kepolosannya menipu, berpura-pura baik dan manis, ternyata ia laporkan semuanya pada orang tuanya, ya Allah beri hamba kesabaran,” gumamku sambil menghela nafas panjang.
Berikutnya, pikiranku berpindah pada ayahnya Lita, diam-diam aku merasa agak tersinggung. Masih jelas terngiang-ngiang apa yang disampaikannya lewat telepon tadi.
“Baru kali ini aku menemukan bapak-bapak yang cerewet, peduli dengan hal yang sepele, perhitungan banget dengan urusan sandal, setahuku cowok biasanya lebih realistik dalam bertindak. Huh, mentang-mentang TNI,“ geramku dalam hati sambil kukepal tanganku dan kupukulkan dibantal.
“Ya Allah, bantu hamba untuk berbaik sangka padanya. Baiklah, mungkin dia sedang pusing, mungkin dia sebenarnya tidak ingin marah denganku, tapi mungkin dia sedang punya banyak masalah di keluarganya atau mungkin dia sedang punya banyak urusan di kantornya,” Aku menenangkan hatiku untuk tidak sakit hati dan berusaha berpikiran positif padanya.
Emosi yang tak terlupakan ini sungguh membuatku sulit untuk memejamkan mata, tak terasa akhirnya ada gerimis jatuh di mataku, membayangkan kembali wajah suamiku yang sudah kembali kepada-Nya setahun yang lalu.
“Andai ia masih bersamaku, tentu dia tidak akan membiarkan aku dicaci-maki orang lain, apalagi oleh seorang laik-laki,” Kuusap air mataku perlahan.
“Ya Allah, kutahu ini ujian buat hamba setelah ditinggal suami, aku harus melanjutkan LBB yang mulai terseok-seok ini. Muridnya tinggal sedikit, jangan sampai mereka tidak betah belajar di sini. Ini satu-satunya ladang penghasilanku yang ditinggal suamiku untuk membiayai keseharianku. Ya Rabb, bimbing hamba dengan keikhlasan,” doaku dalam hati.
Malam ini terbayang semua wajah murid-muridku di LBB ini, wajah mereka seperti bergantian hadir di tampilan slide satu persatu di depan mataku, aku menerka-nerka siapa yang mungkin memiliki sifat jail pada temannya. Mulai muncul juga rasa bersalah, apakah selama ini aku kurang menasihati mereka tentang etika dan akhlak yang baik. Padahal, selama ini aku sering menasihati mereka sebelum pembelajaran dimulai sambil menunggu kesiapan gurunya mengajar.
“Ya Rabb, Engkau ciptakan mereka dengan aneka karakter, dan qadarullah Engkau jumpa kan aku dengan karakter mereka yang bermacam-macam itu. Hari ini, Engkau pertemukan aku dengan orang tua yang kurang sopan, kau tunjukkan aku dengan murid yang kurang dewasa, Engkau uji aku dengan murid-muridku yang tidak jujur untuk segera mengakui kesalahannya. Hari ini, Engkau sedang ingatkan hamba bahwa dimaki orang lain itu sungguh tidak nyaman, berkata kasar itu sungguh menyakiti orang lain, artinya Engkau sedang memberitahuku agar aku jangan bersikap demikian pada orang lain. Atau mungkin juga ini sebagai peringatan dari-Mu, bahwa aku pun pernah bersikap demikian pada orang lain, tapi aku tidak menyadarinya, ya Allah, ampuni hambamu ini. Terima kasih ya Rabb, atas pembelajaran hari ini,” batinku.
Aku terus beristigfar dan mengevaluasi diri. Berdoa agar permasalahan ini segera selesai dan tidak berlarut-larut. Kuambil air wudu, terus berzikir, kini aku merasa lebih baik, hatiku tenang dan perlahan kantuk pun datang.
***
Setelah kutunaikan Shalat subuh, aku membaca Alquran, lalu kuteguk jamu ramuanku, jahe, kunyit, serai, sedikit perasan jeruk nipis dan madu. Hmmm, rasanya segar dan menghangatkan tubuhku di pagi hari. Segera aku keluar rumah untuk menghirup udara pagi. Pagi ini, langit terlihat cerah tak menyisakan mendungnya walau cukup lebat hujan tadi malam. Sejuknya suasana pagi menyemangatiku untuk kembali melanjutkan aksiku mencari sandal tersebut. Aku berharap bisa menemukannya, mungkin tadi malam tidak kelihatan, siapa tahu terselip di bunga-bunga, di saluran got atau pun di tempat lainnya. Aku mencarinya lebih santai, sesantai suasana hatiku yang damai setelah istirahat malam dalam balutan doa dan nyanyian hujan.
“Ono opo, Jeng, kok sepertinya mencari sesuatu? ” tanya si embah tetanggaku yang biasa membantu menyapu halaman rumahku.
Aku menceritakan padanya tentang kejadian tadi malam. Si embah mangut-mangut,
“Paling arek-arek iku maksude guyon sama temannya, tapi kebablasan” komentarnya.
“Biar saya bantu mencarikan, Jeng, sambil membersihkan halaman, siapa tahu ketemu,” katanya sambil tersenyum, kemudian dia ambil senjatanya yaitu sapu lidi dan cikrak.
“Nggih, Embah, matur suwun.” jawabku.
Si embah mulai beraksi, menyapu halaman rumahku seperti biasanya. Ia sangat dekat denganku, sedekat sapu di tangannya yang ia pegang erat setiap pagi dan sore. Ia selalu memegang erat diriku jika ia ingin berkeluh kesah tentang menantunya, anaknya dan cucunya yang sering melukai perasaannya. Begitu pun sebaliknya ia akan memegangku erat dan menenangkanku jika ada kesedihan dan masalah menghampiriku, apalagi sepeninggal suamiku. Aku menjadi teman untuknya, ia pun menjadi teman untukku, ia kuanggap seperti ibuku sendiri, tempat berbagi cerita dan sedikit rezeki.
“gak ono, Jeng, aku cari di tempat sampah dan got juga gak ada, teruse ilang nang endi, gumun aku,” gerutunya sambil membetulkan kacamata plusnya yang hampir jatuh karena sedari tadi terus menunduk mencari sandal.
“Lha iyo iku, Embah, saya juga heran,” tambahku.
Lalu dia duduk selonjor di dipan panjang sambil meremas-remas lututnya dengan jemarinya yang sudah keriput. Duduknya sudah tidak tegap lagi, postur tubuhnya yang tinggi, kini terlihat melengkung, merunduk menunjukkan usianya. Meskipun demikian, ia masih kuat melakukan aktivitas sehari-hari, ia masih kuat mencuci, menyapu, mengepel, memasak bahkan mengantarkan dan menunggu cucunya sekolah TK. Usianya yang sudah berkepala tujuh masih mau melakukan segala sesuatunya sendirian, bahkan anak dan cucunya yang bergantung padanya. Aku memang harus belajar banyak darinya tentang perjuangan hidup, walau banyak masalah dan ditinggal pasangan sekalipun, namun tetap semangat dan tabah menghadapinya.
“Wis gak popo, Embah, nanti aku tanyakan lagi sama anak-anak. Matur suwun, nggih,” jawabku sambil mengelus pundaknya. Aku duduk di dekatnya sambil beberapa saat mendengarkan keluh kesahnya, lalu kutinggalkan ia karena aku harus pergi ke pasar dan memasak untuk sarapanku dan bekal anakku ke toko.
***
Menjelang Ashar aku mulai disibukkan dengan merapikan dan membersihkan LBB-ku, karena pembelajaran akan dimulai sejak pukul 16.00, break dulu untuk Shalat magrib, kemudian dilanjut kelas berikutnya sampai pukul 20.00 malam. Begitulah aktivitasku setiap harinya, pagi hari sibuk dengan aktivitas emak-emak, kadang diselingi kegiatan olah raga. Pukul 09.00 sampai zuhur biasanya aku ikut kajian dari masjid ke masjid bersama sahabatku. Aku menikmatinya, kegiatan tersebut cukup menenangkanku, mengusir sepiku, menambah teman dan saudara, juga jadi pupuk yang menyuburkan imanku setiap waktu.
Kumandang Ashar terdengar, kelas pun sudah siap.
Setengah jam kemudian, anak-anak mulai berdatangan. Sebelum pembelajaran dimulai aku memberikan pengumuman, mengingatkan mereka tentang tunggakan pembayaran tagihan les, menyemangati mereka untuk persiapan UNAS sekaligus aku menyampaikan berita kehilangan sandal tadi malam. Semua kelas aku umumkan dari mulai kelas SD, SMP sampai SMA. Tak lupa aku menasihati mereka dan mengingatkan mereka untuk tidak perlu malu berkirim pesan melalui WA atau telepon padaku jika memang mereka sengaja menyembunyikan sandal tersebut.
Waktu terus bergulir, tak bosannya aku dan si embah terus mencari wujud sandal tersebut, aku pun selalu menanyakan kepada anak-anak baik langsung ataupun chatting di grup WA. Namun anehnya sandal tersebut belum juga ditemukan, tak ada kabar, entah ke mana rimbanya. Sampai akhirnya, aku, Lita juga anak-anak lainnya mulai melupakannya dan kembali kepada aktivitas pembelajaran seperti biasanya.
***
2 minggu kemudian
Minggu pagi, aku bersiap untuk pergi ke sanggar senam. Pakaian senam, tumbler air minum, dan sepatu kets, kusiapkan semuanya, lalu kugantung di sepeda motor.
“Assalamu’alaikum,” Seseorang mengucapkan salam di depan gerbang.
“Wa’alaikum salam, monggo masuk, silakan duduk, Bu, ada yang bisa saya bantu?” Ucapku sambil mempersilahkan dia duduk.
“Bagaimana, Bu, apakah Ananda jadi les di sini?” tanyaku.
“Lha ya itu, dua minggu yang lalu, saya kan sudah mendaftarkan anak saya les di sini, tetapi ternyata anaknya gak mau berangkat,” ucapnya dengan nada kecewa.
“Coba dibujuk lagi pelan-pelan, Bu,” kataku.
“Sudah saya lakukan, Bu. Saya juga khawatir gimana dengan UNAS-nya nanti. Padahal ketika masuk ke kelas tiga saja, wali kelas dan kepala sekolahnya sudah memberikan warning. Katanya kalau tidak ada perubahan nilai dan semangat belajar, Riko tidak akan diluluskan. Nilainya sangat minim, terutama untuk pelajaran matematika dia sangat lemah, Bu. Di rumah main handphone terus, gak mau belajar,” keluhnya.
“Saya bantu sebisa saya, Bu, jika ananda mau datang ke sini, insya Allah saya akan coba memberikan nasehat dan arahan padanya. Lha wong dari awal ibu mendaftarkan saja, dia belum berminat untuk ikut les di sini,” jelasku
“Makanya itu, Bu, awalnya saya pikir setelah saya daftarkan di sini dua minggu lalu, saya kira anaknya berangkat ke sini. Karena memang seminggu yang lalu dia setiap sore pergi membawa tas sekolah, dan pamitnya mau berangkat les ke sini. Untungnya ibu menelepon saya dan memberitahu kalau Riko gak masuk les,” katanya.
“Ya, Bu, waktu itu Riko datang sekali ke sini, itu pun anaknya terlihat tidak bersemangat, saya juga belum sempat melakukan pendekatan,, namanya anak remaja saya juga gak bisa langsung to the point menasihati, harus pelan-pelan, jika sudah akrab dan sering les, saya baru berani masuk ke dunianya dan menasihatinya,” tuturku.
“Ya, waktu itu memang setelah ibu telepon, ayahnya langsung mencarinya, lalu saya marahi, Bu, karena dia sudah berbohong pada saya, katanya les ternyata dia bermain di rumah temannya, akhirnya hari itu dia berangkat tapi sambil muring-muring,” Dia menjelaskan sambil terlihat ekspresi marah di mukanya.
Aku memperhatikan dari cara ibu ini bercerita sepertinya dia cerewet dan gak sabaran, mungkin itu yang menyebabkan Riko nggak mau patuh padanya.
“Oh, pantesan sampai sini wajahnya terlihat bete, gak mood untuk belajar,” kataku.
“Mohon maaf, Bu, apakah ibu bekerja?” tanyaku.
“Ya, saya guru di SMP swasta, Bu,” jawabnya.
“Oh, begitu,” responsku singkat.
Padahal di dalam hatiku sempat terlintas,
“Lho kok, masa dia sendiri gak bisa mengajari anaknya, katanya guru,” batinku.
Tapi kuhapus pikiran itu di otakku, aku kembali berprasangka baik padanya,
“Bukanlah anak itu ujian bagi orang tuanya, belum tentu anak seorang ulama menjadi ustaz, Kan’an saja yang notabene anak Nabi Nuh, tapi dia menjadi anak yang durhaka, tidak patuh pada ayahnya bahkan durhaka kepada perintah Allah,” Batinku menasihati diriku sendiri.
“Ya, Bu, nggak apa-apa, didoakan saja mudah-mudahan dia jadi anak yang baik, lebih dewasa dan mau belajar untuk masa depannya. Bisa belajar di rumah bersama ibu atau juga les di sini,” kataku.
“Ya, Bu, saya pamit,” katanya tanpa bersalaman langsung membalikkan badan.
“Inggih, Bu, terima kasih,” jawabku sambil mengantarnya sampai ke halaman rumah. Ia pergi menuju sepeda motornya dan mengambil tas keresek hitam dari gantungan motor.
“Oh iya, Bu, ini saya mau menukar sandal saya, tempo hari saya ke sini salah ambil,” katanya dengan ekspresi datar.
Dia langsung mengambil selop kuning di rak sandal dan menaruh sandal jepit biru di sana. Lalu, dia pulang, tanpa keluar kata maaf dari bibirnya kalau dia telah salah memakai sandal atau meminta maaf karena baru hari ini dia sempat mengembalikannya. Aku hanya bengong terdiam melihat perilakunya, nggak bisa berkata apa-apa karena dia pun langsung pergi menyalakan sepeda motornya.
Sambil menatap kepergiannya aku hanya bisa mengelus dada sambil berucap,
“Alhamdulillah akhirnya sandal jepit usang ini ketemu juga, meskipun sudah terlambat.”
Aku kini ingat, memang sore itu pukul 17.30 sore, seorang ibu datang tergopoh-gopoh, ia mendaftarkan anaknya untuk les di sini, waktu itu dia memang terlihat terburu-buru, mungkin karena sudah mau menjelang magrib, sementara aku sendiri sibuk karena ada beberapa murid yang melakukan pembayaran les, jadi tidak sempat mengantarkan tamu sampai ke depan pintu.
Kutatap sepasang sandal jepit usang berwarna biru itu, sambil tersenyum sendiri. Karena senangnya, aku secepatnya menelepon ayahnya Lita,
“Assalamu’alaikum, Pak, sandalnya Lita sudah ketemu, ternyata terbawa sama wali murid yang waktu itu mendaftarkan anaknya untuk les di tempat saya, ini orangnya barusan mengantarkan ke sini, waktu itu memang dia terburu-buru, Pa, jadi nggak sadar kalau sandalnya tertukar,” kataku bersemangat.
“Sekali lagi, mohon maaf, Ya, Pa,” tambahku.
“Ya, Bu,” jawabnya singkat dan datar.
Padahal sebenarnya sungguh aku berharap dia akan mengatakan,
“Oh, gak apa-apa, Bu. Saya sudah melupakannya kok, Bu. Maaf jadi merepotkan, maaf juga saya sudah berprasangka buruk sama ibu, terima kasih, ya, Bu.”
Oh, ternyata itu hanya ada di pikiranku saja. Memang sebaiknya aku harus tulus, jangan berharap pujian juga jangan berharap orang lain harus berbuat baik terhadapku.
“buryam, bubur ayam!” teriak tukang bubur ayam menawarkan
“Tumbas, Pa!” panggilku.
Kuurungkan niatku untuk senam, aku tergoda untuk beli bubur ayam. Toh kalaupun aku memaksakan berangkat, sepertinya ini sudah terlambat. Daripada aku pergi terburu-buru, lebih baik aku menikmati bubur ayam sambil mensyukuri nikmat Tuhan hari ini.
Kumakan bubur ayam pelan-pelan, kumengingat kembali wajah ibunya Riko pagi ini.
“Ya Rabb, ternyata masih ada karakter unik lainnya yang kau pertemukan denganku kali ini. Bukankah dia seorang guru? Tapi mengapa ia tidak punya etika? Mengapa ia tidak mengabari kalau sandalnya tertukar? Bukankah sekarang sudah canggih, kalau tidak bisa datang, paling tidak dia bisa menelepon atau kirim pesan lewat WA? Bukankah dia punya nomor HP-ku? Kenapa dia tidak secepatnya mengembalikan? Mengapa tadi ia tidak minta maaf karena baru sempat sekarang mengembalikannya?” Ada banyak pertanyaan di benakku.
Begitu pula dengan ayahnya Lita, apa sulitnya bagi dia untuk mengucapkan terima kasih setelah sandalnya ditemukan, juga ucapan minta maaf karena dia telah merepotkan aku dan membuatku bingung. Sesaat kemudian aku membuka catatan tagihan bayar les siswa, ternyata Lita sudah menunggak tiga bulan.
“Hmm ternyata selain pelit berkata maaf dan terima kasih, ia juga pelit untuk membiayai anaknya,” batinku berkeluh.
“Ya Rabb, aku tahu Engkau sedang menguji kesabaranku, menguji keikhlasanku. Bimbing hamba untuk senantiasa berlapang dada, tidak banyak berkeluh kesah, berburuk sangka, dan merasa lebih mulia dari yang lain. Bantu hamba buang segala penyakit hati, terutama berburuk sangka walau hanya terbersit di dalam hati. Astagfirullah. Semoga aku bisa mengambil hikmah dari kisah sandal jepit yang bikin skandal ini. Kini aku tahu, betapa luar biasanya ucapan terima kasih dan kata maaf dalam kita berhubungan dengan sesama. Betapa pentingnya menyelami perasaan orang lain. Tapi terkadang orang lain tidak mau memahami perasaan kita dan nggak mau menggunakan pikirannya. Padahal justru pikiran dan perasaan itulah yang membedakan ia dengan hewan. Inilah kehidupan dengan aneka ragam ceritanya. Hidupku jadi dinamis, hidupku jadi berwarna. Alhamdulillah,” Aku berbicara lirih.
Engkus Kusriah, lahir pada 02 Agustus 1974 berdarah Sunda meskipun masa remaja menghabiskan waktu di berbagai kota berbahasa Jawa, dan kini menetap di Kota Surabaya. Sejak kecil memiliki hobi membaca dan menulis puisi. Psikologi dan religi adalah buku-buku yang paling disukai, karenanya ia memilih S2 psikologi meskipun S1-nya sarjana Bahasa Inggris.
Menulis adalah nyawa yang bisa menghidupkan kebisuan, menumpahkan segala asa dan rasa tanpa ragu, karenanya ia memiliki nama pena LASYAKKA yang artinya jangan ragu. Dua karya solo telah dihasilkan “Merindu Khusyuk dan Rentang Rindu Ramadhan”, tujuh buku antologi puisi dan dua buku antologi cerpen. Karya lainnya tersebar di media sosial instagram, facebook dan blog. Yuk! tengok dia melalui facebook/instagram : Engkus Kusriah, email ekusriah28@gmail.com dan blog https://engkuskusriah.wordpress.com.
Bagikan tulisan ini:
Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai
Copyright © 2022. All rights reserved.