Lokasi
Salatiga, Jawa Tengah
Hub Kami
+62 851 5645 7536
Salatiga, Jawa Tengah
+62 851 5645 7536
Art: lenamacka.com
Bukankah telah kutulis dalam surat itu:
Jangan menunggu waktu berangkat, ia tidak pernah terlambat.
Namun, kulihat kau bosan selalu datang pukul tujuh pagi
dengan ujung kuku meremas cangkir kopi
berdiri dan menunduk sebab kau takut
melihat bayangan badai mengintai dari segala arah.
Kau jawab pula dalam balasan surat itu:
Kalau berperang menangkanlah, kalau terbang mendaratlah.
Oih, seakan aku tentara Amerika yang dikirim ke Vietnam atau Irak,
kau tentu tak sedang mengirim telegram ke pos kematian bukan?
Kita sama-sama tahu ada yang tidak tertulis dalam surat-surat itu:
Seperti gelagat pada isyarat.
Sepanjang waktu kita sibuk menyalin mudah-mudahan lebih banyak dari ingin
dan membiarkan angin menerbangkan arak-arakan burung origami ke langit
tempat semoga dan mengapa bertempur dengan sengit.
Di sini
Surat-surat tidak pernah sampai ke alamat.
Mukomuko, 15 Maret 2022
Di kamar mandi tadi pagi
kutemukan matahari biru menyala
dari mata sayu kau yang tertinggal di cermin,
pendar cahayanya memanjang
lembut memeluk hal-hal asing
yang terdengar bising saat dieja bibirku.
Dari bibir kau yang jatuh di bantal
terbit badai dengan seribu satu retakan berhamburan
melumat satu koloni galaksi di kepala
menjadikannya puing-puing
dengan genangan bernama telaga marabahaya.
Menjelang siang,
dari diriku, sekujur kata padam
luruh gugur menguning dan rebah
tunduk pada ibadah-ibadah palsu
yang garang nyalang menerjang pintu-pintu
melakoni peran dalam sinetron laga di kepala.
Mukomuko, 31 Januari 2022
Musim berwarna sunyi di sini
Hari-hari menggelegakkan duka
Waktu hanya membeliakkan ketakutan
Kaki berhenti dari tabiatnya mencari tempat
Tubuh mencintai persembunyian
Dan undang-undang negara telah memberendel pintu rumah.
Tidak ada tamu, tidak ada yang bertamu.
Cuaca pecah menjadi kepingan isak
Detik ke detik memuai menjadi tidak asik
Memelarkan jarum panjang pada jam dinding
Kota dan hutan memulihkan diri
Kekeringan melanda kantong celana dan mata orang-orang
Kecuali pejabat dan pengkhianat
Seperti kata pisau: maut memang mencintai rakyat jelata.
Di sini musim dan cuaca milik pemerintah
Badai atau kemarau bisa dipesan sesuai kebutuhan
Teroris atau rekan bisnis tergantung keadaan politis
Semua awal mula berangkat saat rakyat melompat dan mendarat
Ke dalam kotak kardus yang perkasa
Hari ini adalah sebuah harga yang harus dibayar
atas tawaran seratus ribu perkepala.
Mukomuko, 15 Maret 2022
Setelah petang
sudah jarang ayah menjaring seluruh orang di rumah dengan tangannya
Perahu tidak pernah lagi melepas sauh ke muara di ruang tamu
Berlayar melewati jam-jam istirahat dengan saling meleparkan kata
Televisi dibiarkan asik sendiri
sesekali jendela mencuri dengar tentang kepala yang tertinggal di meja kantor
atau suatu hari yang terlanjur di bawa pergi tanpa permisi
Setelah pagi
Di meja makan semakin sedikit waktu ibu untuk mengecup pipi
Dapur berhenti memberikan pertunjukan Colloseum bagi sayur dan daging
Perayaan pernikahan bagi gunung dan laut
Yang kemudian melahirkan sepiring puisi
Membawa aroma masa kecil sesekali pulang ke rumah
Tempat segala yang dikenal lidah diberi nama
Setelah sore
Buku diari sudah berhenti menjadi sahabat baik
Potlot sudah menua dan kertas bosan membangun alasan
Tapi tiada putus rantai mengencang dada
Memaksa tidur menyingkap selembar demi selembar kulit ari dari tubuh luka
Menganga mencuatkan ujung senjata pada burung-burung
Meski keluarga habis diburu tidak pernah tampak murung.
Mukomuko, 15 Maret 2022
Merekahlah yang semerah nyala
pada awan badai yang mengambang
di antara kedua bibir kau
menjadi larik-larik maskumambang
dengan dendang lagu hikayat terpahat
di setiap leleh tangis mata kau.
Meledaklah kata-kata yang telah utuh
dalam baris sumpah serapah
dengan tanda seru lebih banyak dari umpatan
yang kau lontarkan lebih fasih dari menyebut nama Tuhanmu sendiri.
Meredalah hujan tanpa mendung
Sebelum demam hypertropikangen menggigilkan suatu hari kita.
Mukomuko, 31 Januari 2022
Sejenak menjadi terlalu lama di sini
sejak bulan setengah jadi lahir dari mata kau
bulat tapi pucat, bercahaya tapi sekarat
seperti secangkir calendula yang telah dingin
menyesap tabu dari rasa ingin tahu
atau menyesatkan petunjuk arah pada jalan pulang
ke tanah ibu: tempat semua peluk tak pernah bisa mengelak.
Sejenak menjadi terlampau jauh memberi jarak
memisahkan kursi kita sebagai ruang tunggu
dan kue-kue kering di piring mengabu.
Meja menganga lebar
menelan semua yang sudah dipersiapkan saban hari
sesaat setelah surat dari langit mengetuk kamar tidur
membuat malam dan pagi bergerak selambat kata-kata
mengguyur nyala lentera jadi dingin
jadi ingin di suatu peristiwa.
Mukomuko, 07 Februari 2022
Subuh melepas jarak Yogyakarta-Semarang
Tidur telah melewati masa kadaluarsa
Tidak ada malam di kereta ini
Lampu seterang keresahan bulan yang lelah
mengejar mata jendela.
Pagi di atas perlintasan seperti melihat pintu rumah dibuka
Dan kehangatan ibu menyambut tubuhku:
Tamu dari sebuah negara asing bernama meja kerja.
Lampu peron tertidur dan orang-orang menyala
Stasiun terakhir merentangkan tangan
Memeluk gerbong kereta yang menumpangkan kepergian
Atau mengantarkan kepulangan:
Selain mereka berdua hanya aku yang berada diantara keduanya.
Siang sejengkal lebih dekat di atas ubun-ubun
Di kantong kepala, catatan masa lampau memberanguskan tujuan:
Aku dan keras kepalaku memilih hanyut ke arah selain rumah.
Mukomuko, 22 Februari 2022
Seluruh hidup menyusut dalam saku
melipat diri sembari menyembunyikan kegaiban
dalam hal-hal lumrah yang disalahartikan
dengan terka teka-teki kata sifat
yang menyifati laku celaka dengan karma
di kamar tidur
tempat semua hidup dibuat dalam mimpi.
Semua hidup dalam mimpi meringsut keluar
menjelma diri lain seraya mengelupaskan masa lalu
dari cangkang yang mengekang segala
pembatas menyelisik halaman buku
menghadirkan catatan harian di ruang baca
tempat semua hidup direkap secara sia-sia.
Aku memetik detik pada sekuntum waktu
Dari tangkainya yang getas melengkung cakrawala ganjil
Sesuatu muncul dari sana:
Gegana-gegana merah muda mengapung
Mengepung seluruh haru, menyarukannya dalam pelangi
Dan mukjizat melompat-lompat dari kantong langit
Berjinjit-jinjit memungut setiap pecahan peluru masa lalu
Mengumpulkannya dalam satu keranjang peristiwa
Membuat hari lekas kembali ke bermula.
Semula masa beranjak dari dua titik nol
Aku mengutip sebaris puisi dari lidah angkasa
Sehabis kata-katanya mengelana
Malanglang jagat maya menemukan rima
Sesuatu membenih di sana:
Zat-zat mencelat jadi segumpal darah
Darah marah menjadi tulang
Tulang kalah dibalut daging
Daging nyala diberi nyawa
Menjadikan semua lekas kembali ke semula.
Mukomuko, 12 Maret 2022
Malam menggenang di kaki langit kota sepi: Argamakmur
Semua rencana pulang sebagai catatan panjang di buku harian
Tak habis lembar-lembar mengisahkan sehelai senyum yang menggelitik
Menjadi hamba yang mengecualikan hal-hal tabu untuk sesaat
Sebelum dadu di dada kembali di lembar ke udara
Menghamburkan adrenalin untuk setiap pesan masuk
Menghabiskan percakapan usang yang menyenangkan
Dan kita kini adalah sepasang permintaan
Tangan-tangan dari setiap kehendak kita
Menyaru jadi rindu
Pada suatu hari di entah kapan
Malam ini akan kembali dengan alasan-alasan
Yang mempertanyakan keabadiannya.
Mukomuko, 09 Maret 2022
Penulis lahir tahun 1994. Bercita-cita memanusiakan manusia. Berdomisili di Desa Marga Mukti Kecamatan Penarik Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Email: alamatposudaramazli@gmail.com Akun instagram @katahkata
Bagikan tulisan ini:
Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai
Copyright © 2022. All rights reserved.