

Lokasi
Salatiga, Jawa Tengah
Hub Kami
+62 851 5645 7536
Salatiga, Jawa Tengah
+62 851 5645 7536
Art: flickr.com
Tuan Rodríguez yang cekatan
bukanlah kawanku:
Nyonya kunang-kunang Aguda
bukan kekasihku yang bersuara manis:
untuk berjalan di langkah kuningku
seseorang harus hidup di dalam
benda padat:
lumpur, kayu, kuarsa,
logam,
bangunan-bangunan bata:
seseorang harus tahu bagaimana menutup matanya
di bawah sinar matahari,
untuk membukanya di tempat teduh,
untuk menunggu.
Mereka mengetuk pintuku pada tanggal enam Agustus:
tak ada yang berdiri di sana
dan tak ada yang masuk, duduk di kursi
dan menghabiskan waktu bersamaku, tak ada siapa-siapa.
Aku tidak akan pernah melupakan ketidakhadiran itu
yang memasukiku seperti orang memasuki rumahnya sendiri,
dan aku puas pada ketiadaan:
kekosongan yang terbuka untuk segalanya.
Tak ada yang menanyaiku, tak ada perkataan apa-apa,
dan aku menjawab tanpa melihat atau berbicara.
Sungguh percakapan yang luas dan istimewa!
Cabang akasia, mimosa,
matahari harum musim dingin yang mati rasa,
Aku berbelanja di pameran Valparaiso
dan dengan akasia dan baunya yang manis
melanjutkan ke Isla Negra.
Kami menyeberang dalam kabut,
ladang kosong, semak berduri,
tanah dingin Chili
(di bawah langit ungu
jalan raya yang mati).
Dunia akan menjadi pahit
dalam perjalanan musim dinginnya, dalam keabadian,
di senja yang tak berpenghuni,
jika aku tidak ditemani,
setiap saat dan setiap waktu,
oleh kesederhanaan
cabang kuning yang hakiki.
Aku tinggal di gang di mana setiap kucing dan anjing
di Santiago, Chili,
datang untuk buang air kecil.
Pada 1925 .
Aku mengurung diri bersama puisi
yang membawaku ke Taman Albert Sarnain,
ke Henri de Regnier yang mewah,
ke kipas biru Mallarme.
Tak ada yang lebih baik dari air seni
ribuan anjing pinggiran kota
daripada kristal imajinatif
dengan inti sari murninya, dengan cahaya dan langit:
jendela Prancis, taman yang dingin
di mana patung-patung suci
--pada 1925--
sedang bertukar baju marmer,
patina mereka dihaluskan dengan sentuhan
dari banyak abad yang anggun.
Di gang itu, aku bahagia.
Lama setelah itu, bertahun-tahun kemudian,
aku kembali sebagai Duta Besar untuk Kebun-Kebun.
Para penyair sudah pergi.
Dan patung-patung itu tak lagi mengenaliku.
Aku datang ke sini untuk menghitung lonceng
yang hidup di permukaan laut,
suara di atas laut itu,
di dalam laut.
Jadi, di sinilah aku tinggal.
Jika setiap hari jatuh
ke dalam setiap malam,
di sana ada sumur
di mana kejernihan terkunci.
Kita harus duduk di tepi
sumur kegelapan
dan dengan sabar
memancing cahaya yang jatuh.
Aku, mungkin aku tidak akan pernah, mungkin aku tidak bisa,
tak pernah ada, tak pernah melihat, tak ada:
apa maksud semua ini? Pada bulan Juni keberapa, pada kayu apa
aku tumbuh sampai sekarang, dilahirkan dan terus dilahirkan kembali?
Aku tidak tumbuh, tidak pernah tumbuh, terus mati?
Di ambang pintu, aku mengulangi
suara laut,
lonceng-lonceng:
Aku bertanya pada diriku sendiri, dengan heran,
(dan kemudian dengan tangan gemetar),
dengan lonceng-lonceng kecil, dengan air,
dengan rasa manis:
Aku selalu datang terlambat.
Aku telah melakukan perjalanan jauh dari diriku,
aku tidak bisa menjawab pertanyaan tentang diriku sendiri,
aku terlalu sering meninggalkan diriku.
Aku pergi ke rumah berikutnya,
ke perempuan berikutnya,
Aku bepergian ke mana-mana
bertanya-tanya tentang diriku sendiri, tentangmu, tentang semua orang:
dan ketika aku tidak ada di sana, tak ada seorang pun,
semua tempat kosong
karena bukan hari ini,
melainkan esok.
Mengapa mencari dengan sia-sia
setiap pintu di mana kita tidak akan ada
karena kita belum tiba?
Begitulah caraku mengetahuinya
Bahwa aku mirip sepertimu
dan seperti semua orang.
Aku tidak pernah bekerja pada hari Minggu,
tapi aku tidak pernah mengaku sebagai Tuhan.
Aku tidak pernah bekerja dari Senin sampai Sabtu,
karena kebetulan aku adalah salah satu makhluk yang malas:
Aku puas menonton jalanan
di mana semua orang bekerja, menangis,
pemotong batu, pejabat, orang-orang
dengan alat-alat atau dengan kementerian.
Aku memejamkan mata sekaligus, sekali dan untuk semuanya,
sehingga aku tidak akan menghadapi hutang-hutangku:
itulah kenapa
aku terus berbisik pada diriku sendiri
di semua tenggorokanku,
dan dengan seluruh tanganku
Aku dibelai dalam lamunanku
oleh kaki-kaki wanita saat mereka bergegas lewat.
Kemudian aku minum anggur merah Chili
selama dua puluh hari sepuluh malam.
Aku minum anggur berwarna merah itu
yang berdetak di dalam diri kita dan menghilang
di tenggorokanmu seperti ikan di sungai.
Aku harus memberi tambahan pada pengakuan ini
bahwa setelah ini aku tertidur, tertidur dan tertidur,
tanpa meninggalkan cara jahatku
dan tanpa penyesalan:
Aku tertidur nyenyak, seolah-olah hujan turun
sebentar-sebentar
di atas semua pulau-pulau
di dunia ini,
menusuk peti mimpi-mimpiku
dengan air surgawi.
Oh, Eduvigis, kau punya nama
yang indah, wanita dengan hati biru:
itu adalah nama untuk seorang ratu
yang sedikit demi sedikit memasuki dapur
dan tidak pernah kembali ke istana.
Eduvigis
terbuat dari suku kata yang dipelintir bersama-sama
seperti kepang bawang putih
yang menggantung di kasau.
Jika mata kami mengikuti namamu di malam hari,
Hati-hati! sangat berkilauan
seperti tiara yang diambil dari abu,
seperti bara api hijau
yang tersembunyi dalam waktu.
Ada hari-hari yang belum tiba,
yang sedang dibuat
seperti roti atau kursi-kursi atau produk
dari apotek atau toko kayu:
ada pabrik hari yang akan datang:
mereka ada, pengrajin jiwa
yang mengangkat dan menimbang dan mempersiapkan
hari-hari pahit atau indah tertentu
yang tiba tiba-tiba di pintu
untuk menghadiahi kita sebuah jeruk
atau langsung membunuh kita.
Di sana, di sana, lonceng berbunyi:
dan ke arah itu orang banyak melihat
hal biasa, malam biru Chili,
denyut bintang-bintang pucat.
Lebih banyak orang datang, mereka yang belum pernah melihat
belum pernah sampai sekarang apa yang menahan
langit setiap hari dan setiap malam,
dan banyak lagi, lebih banyak lagi, begitu banyak yang kagum,
dan mereka semua bertanya, di mana, di mana?
Dan lonceng berbunyi, dengan kesabaran yang luar biasa,
menunjuk ke malam berbintang,
malam yang sama seperti malam-malam lainnya.
*Dari buku puisi Pablo Neruda berjudul El mar y las campanas yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Sea and the Bells oleh William O’daly 1988, 2002: Copper Canyon Press.
Pablo Neruda (12 Juli 1904 - 23 September 1973), dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi surealis, epos sejarah, hingga politik. Gabriel García Márquez menyebutnya "penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apa pun". Pada 1971, Neruda dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.
Kala Lail. Lahir 1996. Tinggal di Kab. Semarang Jawa Tengah. Mendirikan dan bergiat di Komunitas Lintasastra Salatiga. Menyelesaikan studi di IAIN Salatiga.
Bagikan tulisan ini:
Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai
Copyright © 2022. All rights reserved.