Lokasi
Salatiga, Jawa Tengah
Hub Kami
+62 851 5645 7536
Salatiga, Jawa Tengah
+62 851 5645 7536
Art: @illustratorxinuo
Pinggiran kota dengan gigi busuk
dan dinding-dinding lapar
dipenuhi poster compang-camping:
sampah berserakan,
mayat
di antara lalat musim dingin
dan kotoran:
Santiago,
kepala negaraku
diikat ke pegunungan yang besar,
ke kapal salju,
warisan yang menyedihkan
dari abad wanita mewah
dan tuan-tuan dengan janggut putih,
tongkat jalan yang dipoles, topi perak,
sarung tangan yang melindungi dari cakar elang.
Santiago, yang diwariskan,
kotor, berdarah, ludah di trotoar,
sedih dan terbunuh
kita mewarisinya
dari tuan-tuan dan harta mereka.
Bagaimana kami akan mencuci mukamu,
kota, hati kita sendiri,
putri malang,
bagaimana kami
memulihkan kulitmu, musim semimu,
wewangianmu,
bagaimana kami bisa hidup dengan hidupmu?
atau menyalakan apimu,
atau menutup mata kami dan menyingkirkan kematianmu
hingga kau bernapas lagi dan mekar
dan bagaimana kami memberimu tangan-tangan baru dan mata baru,
rumah-rumah manusia, bunga-bunga dalam terang!
Sesuatu mengetuk pintu batu
di pantai, di pasir,
dengan banyak tangan air.
Batu itu tidak merespon.
Tidak ada yang akan membukanya. Mengetuk sama dengan membuang-buang air,
buang-buang waktu.
Tetap saja, sesuatu mengetuk,
berdetak,
setiap hari dan setiap tahun,
setiap abad dari berabad-abad.
Akhirnya sesuatu terjadi.
Batunya berbeda.
Sekarang batunya memiliki lekukan halus seperti payudara,
memiliki saluran tempat air mengalir,
batunya tidak sama sekaligus sama.
Di sana, di mana terumbu karang paling kasar,
ombak mendaki dengan mulus di atas pintu
bumi.
Maafkan aku jika mataku melihat
tidak lebih jelas daripada buih laut,
tolong maafkan karena wujudku
tumbuh keluar tanpa izin
dan tak pernah berhenti:
kemonotonan adalah laguku,
kataku adalah burung bayangan,
fauna batu dan laut, kesedihan
planet musim dingin, tidak fana.
Maafkan aku atas rangkaian air ini,
batu, buih, air pasang
delirium: ini adalah kesepianku:
garam tiba-tiba melompat ke dinding
keberadaan rahasiaku, sedemikian rupa
seakan-akan aku adalah bagian
dari musim dingin,
dari hamparan datar yang sama yang berulang
dari lonceng ke lonceng, dalam gelombang demi gelombang,
dan dari keheningan seperti rambut wanita,
keheningan rumput laut, lagu yang tenggelam.
Seluruh bumi manusia berdarah.
Waktu, gedung, jalanan, hujan,
menghapus konstelasi kejahatan,
faktanya, planet kecil ini
telah berlumuran darah ribuan kali,
perang atau balas dendam, penyergapan atau pertempuran,
orang jatuh, mereka dimakan,
dan kemudian dilupakan terhapus bersih
setiap meter persegi: dulunya
adalah monumen kebohongan yang samar,
terkadang pasal dalam perunggu,
lalu percakapan, kelahiran,
kotamadya, dan kemudian dilupakan.
Seni apa yang kita miliki untuk pemusnahan
dan ilmu apa untuk melenyapkan ingatan!
Apa yang berdarah ditutupi dengan bunga.
Sekali lagi, para pemuda, persiapkan dirimu
untuk kesempatan lain untuk membunuh, untuk mati lagi,
dan untuk menyebarkan bunga di atas darah.
Thrush berkicau, burung suci
dari ladang-ladang Chili:
memanggil, memuji,
menulis di atas angin.
Ia datang lebih awal,
ke sini, dalam musim dingin, di pantai.
Cahaya merah berlama-lama di cakrawala
seperti strip tipis bendera
terbang di atas laut.
Kemudian warna biru menyerbu langit
sampai semuanya terisi biru,
karena itu adalah tugas harian,
roti biru dari setiap hari.
Apakah ada laut di sana? Katakan padanya untuk masuk.
Bawa aku
lonceng besar, salah satu ras hijau.
Bukan yang itu, yang lain, yang punya
celah di mulut perunggunya,
dan sekarang, tak lebih, aku ingin sendiri
dengan laut esensialku dan lonceng.
Aku tidak ingin berbicara lama,
kesunyian! Aku masih ingin belajar,
aku ingin tahu apakah aku ada.
PENUTUP
Matilde, tahun-tahun atau hari-hari
tidur, demam,
di sini atau di sana,
menatap,
memutar tulang belakangku,
berdarah darah sejati,
mungkin aku terbangun
atau aku tersesat, tidur:
tempat tidur rumah sakit, jendela asing,
seragam putih pejalan kaki yang pendiam,
kecanggungan kaki-kaki.
Dan kemudian, perjalanan ini
dan laut pembaruanku:
kepalamu di atas bantal,
tangan-tanganmu melayang
dalam terang, dalam terangku,
di atas bumiku.
Begitu indah untuk hidup
ketika kau hidup!
Dunia lebih biru dan bumi
di malam hari, saat aku tidur
lelap, berada dalam tangan-tangan kecilmu.
*Dari buku puisi Pablo Neruda berjudul El mar y las campanas yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Sea and the Bells oleh William O’daly 1988, 2002: Copper Canyon Press.
Pablo Neruda (12 Juli 1904 - 23 September 1973), dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi surealis, epos sejarah, hingga politik. Gabriel García Márquez menyebutnya "penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun". Pada 1971, Neruda dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.
Kala Lail. Lahir 1996. Tinggal di Kab. Semarang Jawa Tengah. Mendirikan dan bergiat di Komunitas Lintasastra Salatiga. Menyelesaikan studi di IAIN Salatiga.
Bagikan tulisan ini:
Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai
Copyright © 2022. All rights reserved.