Lokasi
Salatiga, Jawa Tengah
Hub Kami
+62 851 5645 7536
Salatiga, Jawa Tengah
+62 851 5645 7536
Art: getlost.id
Jam demi jam, hari tak berlalu,
melewati kesedihan demi kesedihan:
waktu tidak berkerut,
juga tidak habis:
laut, kata laut,
tanpa istirahat,
bumi, kata bumi:
pria menunggu.
Dan hanya
loncengnya
berdering di atas yang lain
menjaga kekosongannya
keheningan yang tak tertahankan
yang akan dibagikan ketika
lidah logamnya naik, gelombang demi gelombang.
Pernah aku melakukan begitu banyak,
berjalan berlutut menyusuri dunia:
di sini, telanjang,
Aku tidak punya apa-apa selain laut tengah hari yang cerah,
dan satu lonceng.
Mereka memberiku suara mereka untuk merasakan sakit
dan peringatan mereka untuk menghentikanku.
Ini terjadi pada semua orang:
ruang terus berlanjut.
Laut hidup.
Lonceng mengada.
Dari dithyramb ke dasar akar laut
merentangkan aneka kekosongan baru:
Aku tidak menginginkan banyak, kata ombak,
kecuali menghentikan omong-kosong mereka,
demi jenggot semen kota
supaya berhenti tumbuh:
kami sendirian,
kami ingin setidaknya berteriak,
kencing menghadap laut,
melihat tujuh burung dengan warna yang sama,
tiga ribu burung camar hijau,
mencari cinta di atas pasir,
merobek sepatu kami, mengotori
buku kami, topi kami, pikiran kami
sampai kami menemukanmu, hampa,
sampai kami menciummu, hampa,
sampai kami menyanyikanmu, hampa,
hampa tanpa apa-apa, tanpa menjadi
apa-apa, tanpa mengakhirinya
pada kebenaran.
Begitu banyak riwayat kematian melintasi wajahku
bahwa aku tidak bisa mati,
aku tidak sanggup melakukannya,
mereka mencariku dan tak menemukanku
dan aku pergi dengan apa yang menjadi milikku,
dengan takdirku yang malang
menunggang kuda, tersesat
di padang rumput yang sepi
jauh di selatan Amerika Selatan:
angin yang berapi-api bertiup,
pohon-pohon membungkuk
sejak hari kelahiran mereka:
mereka harus mencium bumi,
dataran halus itu:
kemudian datang, salju
dari seribu pedang
yang tidak pernah menyerah.
Aku telah kembali
dari mana aku akan pergi,
pada hari Jumat besok
aku kembali
dengan setiap lonceng-loncengku
dan aku tegak menunggu,
mencari padang rumput,
menciumi bumi yang pahit
seperti semak yang bengkok.
Karena itu adalah tugas kita
untuk mematuhi musim dingin,
untuk membiarkan angin tumbuh
dalam dirimu juga,
sampai salju turun,
sampai hari ini dan setiap hari menjadi satu,
angin dan masa lalu,
dingin jatuh,
akhirnya kita sendiri,
dan akhirnya kita akan diam.
Gracias.
Aku bersyukur, biola-biola, untuk hari ini
dari empat akord. Jernih
adalah suara langit,
suara biru udara.
Tampaknya kapal yang berbeda
akan berlayar mengarungi lautan, pada jam tertentu.
Ia tidak terbuat dari besi dan tidak terbang
Bendera-bendera oranye:
tidak ada yang tahu dari mana
atau waktunya:
semuanya telah diatur
dan tidak ada salon yang lebih bagus, semuanya sudah siap
untuk acara singkat.
Spume diluncurkan
seperti karpet yang elegan
ditenun dengan bintang,
warna biru membentang lebih jauh lagi,
kehijauan, pergerakan dari laut lain,
semuanya menunggu.
Dan bebatuan yang berserakan,
dicuci, berkilau, abadi,
berbaris sendiri di atas pasir
seperti rantai istana,
seperti rangkaian menara.
Semuanya
telah disiapkan,
keheningan telah diundang,
dan bahkan laki-laki, yang selalu terganggu,
berharap tidak ketinggalan penampakan ini:
mereka mengenakan setelan hari Minggu,
sepatu bot mereka bersinar,
rambut mereka disisir.
Mereka bertambah tua
dan kapal tidak berlayar.
Ketika aku memutuskan untuk menjernihkan hidupku
dan, bergandengan tangan, mencari kemalangan
dengan melempar dadu,
aku bertemu dengan wanita yang membersamaiku
di mana pun dan kapan pun,
dalam cuaca buruk dan dalam keheningan.
Matilde adalah satu-satunya
yang menjawab nama ini
dari Chillán,
dan bahkan jika hujan
atau guntur atau cerah,
hari dengan rambut biru
atau malam yang kurus,
dia adalah satu satunya,
yang terus dan terus,
siap untuk tubuhku,
untuk ruang tubuhku,
membuka semua jendela ke laut
sehingga kata-kata yang tertulis terbang,
sehingga furnitur terisi
dengan isyarat hening,
dengan api hijau.
Aku memiliki empat anjing untuk diumumkan:
satu sudah terkubur di taman,
dua lainnya membuatku tetap waspada,
liar kecil
perusak,
dengan cakar-cakar tebal dan gigi taring yang keras
seperti jarum batu.
Dan seekor anjing yang lusuh,
terasing,
berambut pirang dengan sikap anggunnya.
Tak ada yang mendengar langkah emasnya yang mulus
atau kehadirannya yang jauh.
Ia menggonggong hanya ketika larut malam
pada hantu tertentu,
sehingga hanya beberapa orang tersembunyi yang terpilih
mendengar ia di jalan
atau di tempat gelap lainnya.
Beberapa orang Argentina berlayar bersama kami,
mereka dari Jujuy dan Mendoza,
seorang insinyur, seorang dokter,
tiga anak perempuan seperti tiga buah anggur.
Aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan.
Orang asing itu juga tidak.
Jadi tidak ada yang mengatakan sepatah kata pun,
tapi bersama kita menghirup
udara segar Pasifik Selatan,
udara hijau
dari pampa cair.
Mungkin mereka membawanya kembali ke kota mereka
ketika seseorang kembali dengan seekor anjing dari negara lain,
atau burung dengan sayap aneh,
burung yang berkibar.
Namaku Reyes, Catrileo,
Arellano, Rodriguez, aku lupa
nama asliku.
Aku lahir dengan nama keluarga
dari pohon ek tua, dari pohon muda,
dari kayu mendesis.
Aku disimpan
di antara daun-daun yang membusuk:
bayi yang baru lahir ini tenggelam
dalam kekalahan dan dalam kelahiran
hutan yang tumbang
dan rumah-rumah miskin yang baru saja menangis.
Aku tidak dilahirkan tetapi mereka menemukanku:
sekaligus mereka memberiku setiap nama,
setiap nama keluarga:
Aku dipanggil semak belukar, lalu pohon plum,
larch dan kemudian gandum,
itulah mengapa aku begitu banyak dan sangat kecil,
begitu kaya dan begitu miskin,
karena aku berasal dari bawah,
dari bumi.
Salam, kami memanggil setiap hari,
kepada setiap orang,
itu adalah kode panggilan
dari kebaikan palsu
dan dari ketulusan.
Ini adalah bel yang kita kenal dengan:
di sinilah kita, salam!
Kau mendengarnya dengan jelas, kami ada.
salam, salam, salam,
untuk yang ini dan yang itu
dan yang lainnya,
ke pisau beracun
dan kepada si pembunuh.
Salam, kenali aku,
kita sama dan tidak saling menyukai,
kita saling mencintai dan tidak setara,
masing-masing dari kita membawa sendok,
membawa kisah sedih kita sendiri,
dihantui oleh menjadi dan tidak menjadi:
kita semua perlu memiliki begitu banyak tangan,
dan begitu banyak bibir untuk tersenyum,
salam!
waktu telah berlalu.
Salam
untuk tidak mengetahui apa-apa.
Salam
mengabdikan diri untuk diri kita sendiri,
jika ada yang tersisa dari kita,
dari diri kita sendiri.
Salam!
Hari ini, berapa jam yang jatuh
ke dalam sumur, ke dalam jaring, ke dalam waktu:
mereka berjalan perlahan tapi tidak pernah berhenti untuk beristirahat,
mereka terus jatuh, awalnya berkerumun bersama
seperti ikan,
lalu seperti botol atau batu yang jatuh.
Ada di bawah jam yang datang
untuk menyetujui hari-hari,
dengan bulan-bulan,
dengan ingatan-ingatan kabur,
dengan malam tak berpenghuni,
pakaian, wanita, kereta api, provinsi,
dan kumpulan waktu,
jam demi jam
larut dalam diam,
runtuh dan jatuh
ke dalam asam dari semua reruntuhan,
ke dalam air hitam
dari malam yang terbalik.
Aku bertemu seorang Tihuatin Meksiko
beberapa abad yang lalu, di Jalapa,
dan kemudian setiap aku menemukannya
di Kolombia, di Iquique, di Arequipa,
aku mulai bertanya-tanya apakah dia benar-benar ada.
Topinya tampak
aneh bagiku ketika
pria itu, seorang pembuat tembikar,
hidup dengan tanah liat Meksiko,
kemudian dia adalah seorang arsitek, seorang mandor
di sebuah pengecoran di Venezuela,
penambang dan gubernur di Guatemala.
Aku bertanya-tanya bagaimana, dengan usia yang sama,
baru berusia tiga ratus tahun,
aku, dari perdagangan yang sama, melamun
di pengecoran loncengku,
selalu memukul batu atau logam
sehingga seseorang akan mendengar bunyi
dan mengenali suaraku, suara tunggalku,
pria ini, dari tahun-tahun yang sia-sia
melayari sungai yang tidak ada,
bagaimana dia diubah oleh perubahan itu?
Kemudian aku mengerti bahwa aku adalah dia,
bahwa kami adalah satu lagi penyintas
di antara yang lain dari sana sini,
dan orang-orang dari garis keturunan yang sama, sederajat, terkubur,
tangan mereka berkerak pasir,
selalu lahir dan ada di mana-mana
dirampas oleh tugas yang tak ada habisnya.
Untuk mengetahuinya, aku memanggil sukuku dan berkata: mari kita lihat
siapa kita, apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan.
Yang paling putih dari mereka, dari kita,
menjawabku dengan mata menantang,
dengan keyakinannya yang khas, dengan benderanya.
Dia adalah benteng musuh.
Mungkin pria itu punya hak
untuk membunuh kebenaranku, jadi terjadilah
bersamaku dan bersama ayahku, dan begitulah seterusnya.
Tetapi aku menderita seolah-olah mereka telah menancapkan gigi mereka ke dalam diriku.
*Dari buku puisi Pablo Neruda berjudul El mar y las campanas yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Sea and the Bells oleh William O’daly 1988, 2002: Copper Canyon Press.
Pablo Neruda (12 Juli 1904 - 23 September 1973), dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi surealis, epos sejarah, hingga politik. Gabriel García Márquez menyebutnya "penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apa pun". Pada 1971, Neruda dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.
Kala Lail. Lahir 1996. Tinggal di Kab. Semarang Jawa Tengah. Mendirikan dan bergiat di Komunitas Lintasastra Salatiga. Menyelesaikan studi di IAIN Salatiga.
Bagikan tulisan ini:
Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai
Copyright © 2022. All rights reserved.