Puisi-Puisi Pablo Neruda: Sang Pahlawan dan Situasi yang Tak Dapat Dipertahankan

SATU

Karena aku belum jadi dan masih berbentuk spindel

aku memahami jarum-jarum itu

dan kemudian mereka menyusupkanku

dan tidak pernah selesai.

 

Itulah mengapa cinta yang kuberikan padamu,

wanitaku, wanita jarumku,

gulungan di telingamu dibasahi

oleh angin laut Chillán

dan terurai di matamu,

membiarkan kesedihan melayang.

 

Aku tidak menemukan alasan yang menyenangkan

mengapa keberuntunganku datang dan pergi,

kesombonganku mengantarku

menuju kepahlawanan yang belum pernah terdengar:

memancing di bawah pasir,

membuat lubang kecil di udara,

melahap setiap lonceng.

Seolah-olah, aku melakukan sedikit

atau tidak melakukan apa-apa,

kecuali mengambil gitar

dan pergi bernyanyi bersamanya.

LAINNYA

Dari sekian pengembaraan di daerah-daerah

yang tidak terpetakan dalam buku-buku

aku menjadi terbiasa dengan tanah yang keras kepala

di mana tidak ada yang pernah bertanya padaku

apakah aku suka selada?

atau apakah aku lebih suka mint

seperti yang dikunyah gajah-gajah.

Dan karena tidak memberikan jawaban,

aku memiliki hati yang kuning.

SATU LAGI

Aku kembali dari kedalaman laut

dengan membenci hal-hal basah:

seperti anjing, aku mengibaskan

ombak yang membelaiku

dan sekaligus merasa bahagia

untuk melangkah kembali ke darat

dan benar-benar bumi.

 

Para jurnalis melatih

mesin cemerlang mereka

melawan mata dan pusarku

untuk membuatku berbicara dengan mereka

seolah-olah aku sudah mati,

seolah-olah aku adalah mayat

orang biasa khusus,

tidak mempertimbangkan keberadaanku

yang bersikeras berjalan di dunia

sebelum aku kembali

kepada kebiasaan mengerikanku:

Aku akan melompat

ke laut lagi.

 

Kisah hidupku berulang

seperti semasa kecil ketika aku menemukan

hatiku yang hancur,

yang menjatuhkanku ke laut

dan membiasakanku hidup di bawah air.

 

Di sana aku belajar menjadi pelukis,

di sana aku punya rumah dan ikan untuk dimakan,

aku menikah di bawah ombak

tapi tidak ingat siapa mereka,

kekasihku berada jauh di bawah,

tapi memang benar semuanya jatuh

ke dalam rutinitas suram:

Aku bosan dengan ikan,

tidak ada insiden dan tidak ada pertempuran,

dan mungkin ikan itu mengira

aku adalah cetacea yang membosankan.

 

Ketika dalam imajinasiku

aku melangkah di atas pasir Isla Negra

dan hidup seperti orang-orang lain di seluruh dunia,

orang-orang membunyikan bel pintu

untuk mengajukan pertanyaan bodoh

tentang fakta yang tidak jelas

dari kehidupan yang benar-benar biasa,

dan aku tidak tahu harus berbuat apa

untuk menakut-nakuti para analis aneh itu.

 

Tolong, aku mohon pada seorang bijak untuk memberi tahuku

di mana aku bisa hidup dengan tenang.

SANG PAHLAWAN

Di jalan Santiago

seorang pria telanjang hidup

selama bertahun-tahun, ya,

tanpa mengencangkan ikat pinggang, tidak, ia tidak pernah berpakaian,

tapi ia selalu memakai topi.

 

Tubuhnya hanya dibalut rambut,

orang filosofis ini

muncul sesekali di balkon

dan warga melihatnya

sebagai seorang nudis yang kesepian,

musuh kemeja,

celana panjang dan mantel.

 

Begitulah, mode datang dan pergi,

rompi layu

dan kerah tertentu kembali

tongkat jalan tertentu jatuh:

semuanya adalah kebangkitan

dan penguburan dengan pakaian jalanan,

segalanya, kecuali manusia

telanjang itu, saat ia datang ke dunia,

sinis seperti dewa pelindung

atletik.

 

(Pria dan wanita yang menyaksikan

tetangga aneh

memberikan detail yang mengguncangku

dengan bukti transformasi

manusia dan fisiologinya.)

 

Setelah semua ketelanjangan itu,

setelah empat puluh tahun telanjang

dari kepala sampai kaki,

ia ditutupi dengan sisik hitam

dan rambut panjang menutupi matanya

sehingga ia tak pernah bisa membaca lagi,

bahkan surat kabar hari itu.

 

Dengan cara ini, pikirannya tetap

fokus pada suatu titik di masa lalu,

seperti pada beberapa editorial lama

di koran yang sudah tidak ada.

 

(Kasus aneh, orang itu

mati saat mengejar

burung kenari di teras.)

 

Sekali lagi, cerita ini membuktikan

iman murni tidak dapat bertahan

dari serangan musim dingin.

SITUASI YANG TAK DAPAT DIPERTAHANKAN

Mereka sering berbicara tentang orang mati

dalam keluarga Ostrogodo

bahwa hal yang aneh terjadi,

satu yang layak untuk dicatat.

 

Mereka biasa berbicara tentang orang mati

sepanjang hari di sekitar perapian,

dari sepupu Carlos, dari Felipe,

dari Carlota, biarawati yang telah meninggal,

dari Candelario yang terkubur,

singkatnya, mereka tidak pernah berhenti

mengingat siapa yang tidak lagi hidup.

 

Lalu, di rumah

berteras gelap dan pohon jeruk itu,

di ruang duduk dengan piano hitam,

di lorong-lorong seperti ruang bawah tanah,

banyak yang mati menetap

dan membuat diri mereka sendiri berada di rumah.

 

Perlahan, seperti jiwa yang tenggelam

di taman cahaya kelabu

mereka berkerumun seperti kelelawar,

mereka dilipat seperti payung

untuk tidur atau bermeditasi

dan bau makam yang menyengat

tertinggal di kursi,

angin sepoi-sepoi yang menyerbu rumah,

kipas sutra yang tak tertahankan

berwarna kapal karam.

 

Keluarga Ostrogodo jarang

pernah berani bernapas:

begitu murni rasa hormat mereka

pada penampakan kematian.

 

Dan jika yang dirampas menderita,

tak ada yang mendengar bisikan.

 

(Lagi pula, berbicara tentang ekonomi

yang invasi diam-diam itu

tidak mengenakan biaya sepeser pun:

orang mati tidak minum atau merokok,

dan tidak diragukan lagi ini adalah nilai tambah:

tapi sebenarnya mereka mulai menduduki

lebih banyak tempat di rumah.)

 

Mereka tergantung di gorden,

mereka duduk di vas bunga,

mereka memperebutkan

kursi malas don Filberto Ostrogodo,

dan mereka menempati kamar mandi

selama berjam-jam, mungkin memoles

gigi di tengkorak mereka:

faktanya adalah, keluarga

mundur dari perapian,

dari ruang makan, dari tempat tidur.

Dan untuk menjaga martabat mereka

mereka semua pergi ke taman

tanpa mengeluh kepada orang mati,

sorakan sedih di wajah mereka.

 

Di bawah naungan pohon jeruk

mereka makan seperti pengungsi

dari garis depan yang berbahaya

dari pertempuran yang kalah.

Tetapi bahkan di sana mereka datang

untuk menggantung dari ranting-ranting,

mereka yang serius dan berhati-hati mati

yang menganggap dirinya mulia

dan tidak pernah membungkuk saat berbicara

pada Ostrogodos yang baik.

 

Hingga dari semua kematian mereka

mereka bergabung dengan yang lain,

menjadi sunyi dan meninggal

di rumah fana itu

yang suatu hari ditinggalkan tanpa penghuni,

tanpa pintu, atau rumah, atau lampu,

tanpa pohon jeruk atau orang mati.

*Dari buku puisi Pablo Neruda berjudul El corazón Amarillo yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Yellow Heart oleh William O’daly 1990: Copper Canyon Press.

Tentang Pablo Neruda

Pablo Neruda (12 Juli 1904 - 23 September 1973), dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi surealis, epos sejarah, hingga politik. Gabriel García Márquez menyebutnya "penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun". Pada 1971, Neruda dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.

Tentang Penerjemah

Kala Lail. Lahir 1996. Tinggal di Kab. Semarang Jawa Tengah. Mendirikan dan bergiat di Komunitas Lintasastra Salatiga. Menyelesaikan studi di IAIN Salatiga.

Bagikan tulisan ini:

Kirim Naskahmu

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

TERPOPULER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contact Info

Copyright © 2022. All rights reserved.

error: Content is protected !!