Cerpen – The Deaf Memoria
APAKAH kau tahu ada sesuatu yang salah dalam ingatanmu? Sesuatu yang tidak berjalan benar. Sesuatu yang melenceng dari jalur. Sesuatu yang akan menyebabkan banyak sekali kekacauan ketika kau tidak segera membenarkannya. Apakah kau tahu jika akan ada korelasi sebab-akibat yang akan segera menimpa kehidupanmu dari setitik kesalahan memorialmu? Oh, I do.
November 2020.
Aku berjalan. Namun 'tak sepenuhnya berjalan. Orang melihatku bernapas. Hanya saja sepertinya aku tidak. Mata orang dewasa akan tersenyum ketika aku lewat. Tapi aku, hanya lewat. Aku peduli, atau hanya berpura-pura peduli? Entah. Tapi satu yang pasti, seingatku dahulu ia milikku.
Dia yang kupeluk. Kumainkan dalam irama. Berkeliaran dalam tangis dan duka. Menggenggam tangan sembari berteriak dengan tawa. Berbagi kenangan dalam sejarah. Dia yang menatapku seolah aku hanyalah miliknya. Seolah aku adalah seseorang yang sangat berarti sebelum kata ganti lain menyingkirkan posisiku. Seolah kami, dua pribadi yang saling mencintai.
Seingatku, tidak ada wanita lain. Hanya aku dan dirinya. Seingatku, tidak ada tawa lain selain milik kami. Seingatku, dekapan itu hanya untukku. Hanya air mataku yang akan ia biarkan membasahi kemejanya. Hanya air mataku yang akan ia biarkan untuk meresap hingga jantungnya. Hanya aku. Satu dari banyak wanita di dunia ini yang akan selalu ia cintai. Namun hari ini, aku menemukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang jauh dari kata 'seingatku'. Dia, milik orang lain.
Aku meneruskan langkah. Mengikuti dua orang yang sangat mencurigakan. Dua orang yang sedang jatuh cinta. Tepi pantai yang luas. Pasir hisap yang lembut. Debur ombak yang menghanyutkan. Bagaimana mungkin aku tidak terdengar? Aku mencoba berteriak namun hanya gema. Tidak ada satu orang pun yang menoleh ke arahku. Tidak ada. Tidak ada yang mendengar langkah kakiku.
Aku tidak menyerah. Kakiku tetap melangkah, namun hening kubiarkan. Debur ombak serasa musik mengalun yang membawaku untuk terus berpikir. Seberapa lama aku tertidur? Seberapa lama aku tidak menatap dunia? Seberapa lama dunia berjalan tanpa aku di dalamnya? Seberapa lama kebahagiaan menggiring aku menjauh? Apakah benar selama itu? Apakah angka yang disebutkan benar? Apakah tidak ada kesalahan dalam penghitungan waktu? Satu tahun? Benarkah?
Aku mengacak-acak rambutku. Baiklah, katakan itu benar. Katakan satu tahun adalah angka yang paling akurat untuk menggambarkan kepergianku dari dunia. Namun bagaimana bisa seseorang berpaling dariku hanya karena aku jatuh koma selama satu tahun? Bukankah itu tidak adil? Apakah ia berpikir aku akan meninggal jadi ia segera mencari penggantiku? Bukankah semua ini aneh? Atau apakah aku masih hidup sekarang? Mengapa tidak ada yang bisa mendengarku atau bahkan melihatku?
"Permisi." Aku menerjang keramaian walau aku masih lemah. Menarik pedihku sejenak dan menggantinya dengan kesopanan. Berjuang agar ia melihatku. Berjuang untuk mendapatkan pengakuan darinya. Namun yang keluar dari bibirku adalah, "Apakah kau mengingatku?" Pertanyaan macam apa itu?
Aku merasa terguncang. Tatapan yang selama ini aku lihat, tidak aku temukan di dalam dirinya yang sekarang. Tatapan mencintai tergantikan oleh tatapan 'aku tidak tahu kau siapa'. Tatapan lembut dan penuh kehormatan tergantikan oleh 'apa aku mengenalmu?. Tatapan saling menginginkan tergantikan oleh 'bisakah kau pergi? Aku membutuhkan ruang privasi'.
Aku menggelengkan kepalaku cepat-cepat. Dia bahkan belum menjawab pertanyaanku. Yang lebih parah, aku bahkan belum membuatnya berhenti. Dia terus berjalan dan aku berhenti di satu titik yang hanya membuatku semakin jauh darinya. Aku merasa aku sudah membuatnya menatapku, tapi mengapa sekarang seolah-olah aku belum melakukan apa pun?
Sekali lagi. Aku menerjang kerumunan. Kali ini aku merasakan betapa lemahnya tubuhku. Betapa sakit kakiku menerjang pasir kecil yang terciprat sampai ke dada. Apakah kali ini aku sungguh mengejarnya? Apakah kali ini ia akan berhenti? Apakah kali ini ia akan melihatku? Apakah kali ini tatapannya akan nyata?
"Permisi." Senyuman wanitanya sangat dalam. Dia, 'tak sama sepertiku. Namun 'tak jauh berbeda dariku. Ya. Aku membuatnya berhenti. Aku membuat lelaki ini menatapku dan aku membiarkan mataku menemukan cinta yang baru bagi pria ini. Tidak. Aku tidak sanggup. "Maaf, sepertinya aku salah orang." Bagaimana jika ia menyangkalku nanti?
"Tunggu," ujar lelaki itu begitu aku membalikkan tubuhku. "Apa kita pernah bertemu?"
Apa kita pernah bertemu? Aku mendongakkan kepalaku terkejut, membalikkan tubuh dan menatap keduanya dengan penuh harapan. Aku merasa kali ini aku akan bertanya sebab lelaki itu terlihat tidak mengenaliku. Apakah satu tahun adalah waktu yang sangat lama? Sampai-sampai ia lupa bagaimana wajahku berarti dalam setiap napasnya?
"Aku...." Aku menggantungkan kalimatku. Tidak. Tidak mungkin. Perut wanita itu sangatlah besar. Ia hamil? Apakah pujaan hatiku berpaling dariku karena ia melakukan kesalahan dan sekarang berpura-pura tidak mengenalku agar tidak melukai hati wanita di sisinya? "Siapa dia?"
"Siapa aku?" tanya wanita itu dengan penuh nada tersinggung. "Sayang, apa kau mengenalnya?"
Pada detik di mana lelaki itu menggelengkan kepalanya, aku tersentak mundur. "Sayangnya tidak." Sayangnya tidak, ulangku berkali-kali dalam kepala. Tidak? "Maaf, Nona. Siapa kau? Kau terlihat tidak asing namun aku benar-benar tidak bisa memutuskan apakah kau salah satu dari rekan bisnisku atau bukan."
Apakah aku seasing itu baginya? Aku masa lalunya. Tidakkah itu berlebihan mengakui diriku sebagai rekan bisnisnya? Satu tahun bukanlah waktu yang lama. Bagaimana mungkin ia melupakanku secepat itu? Tidak. Aku ingin berteriak, namun ini bukanlah saat yang tepat. Aku harus menahan diri agar aku tidak membuat keributan.
"Andro..."
"Maaf, siapa Andro?" tanya lelaki itu memotong ucapanku.
Siapa Andro? Sekarang dia mempertanyakan namanya sendiri? Semua mulai terasa ganjil. Apakah benar hanya aku yang merasa atau kenyataan memang seganjil ini setelah satu tahun tidak saling menyapa? Tapi jika ini tentang dirinya sendiri, mengapa ia bingung dan justru mempertanyakan namanya sendiri? Siapa dia? Apakah aku salah orang?
Tidak. Tidak mungkin aku salah orang. Sudah pasti aku benar. Mana mungkin aku salah orang? Tidak. Andro sudah pasti yang satu ini. Dia yang selalu ada di saat aku senang mau pun susah. Dia yang selalu menguatkanku dan berkata jikalau semua akan baik-baik saja asalkan aku bersama dengannya.
"Mungkin kau salah orang," ujar lembut wanita itu. "Alisha." Wanita bernama Alisha ini mengulurkan tangannya. Sangat lembut. Sangat... tipikal. "Lelaki ini, namanya Vedore dan dia suamiku."
"Suami?" tanyaku mengambang. "Suami?" Pertanyaan itu lebih cocok untuk diriku sendiri. Mengapa aku terkejut? Aku sudah menyangka bahwa ini hanyalah rekayasa Andro semata. Atau Andro membohongiku? Selama ini aku salah dengan namanya? Sebenarnya ia adalah Vedore dan mengatakan padaku bahwa ia bernama Andro. Jadi suatu hari ketika ia berselingkuh dariku, dia akan dengan mudah mengatakan bahwa tidak mengenalku? "Suami?" ulangku sekali lagi.
Lelaki yang kukira Andro itu menganggukkan kepalanya dengan bingung. Apakah jika seseorang berbohong akan tampak bingung? "Ya, dan dia istriku. Dia sedang mengandung putri kami. Kau siapa?"
"Gichel." Entah mengapa aku memberitahukan nama asliku. "Dan kau Andro."
"Tidak dan bukan," elak lelaki itu. "Namaku Vedore. Sepertinya kita tidak pernah bertemu, Nona."
"Tunggu." Sudah terlambat. Segalanya makin jauh dan aku ingin tahu lebih tentang segala kebohongan ini. "Apakah kau membohongiku selama ini?" tanyaku pada akhirnya. "Apakah kau, sedang berbohong sekarang?" Bebanku seakan berkurang namun nyatanya tidak. Semakin berat. "Apakah kau sengaja membuangku karena aku tidak berdaya selama satu tahun?"
Alisha mengerutkan dahinya pada suaminya. Oh, aku benci mengakui lelaki ini milik orang lain sekarang. Tapi harus. Aku harus tahu ada apa sebenarnya ini. Mengapa segalanya terasa tidak benar? Mengapa segalanya berjalan bertolak belakang dari segala ingatanku?
"Sayang, dia seakan mengenalmu."
"Sweater biru." Dia harus mengakui diriku sebelum ia pergi dan menghindariku. "Itu adalah kali pertama kita bertemu."
"Apa?" Lelaki itu terlihat sangat bingung. Tidak. Tidak boleh begini. Mengapa ia bingung? "Maaf, Nona. Aku tidak ingat."
"Sweater biru dengan motif kupu-kupu."
"Bukankah itu juga awal pertemuan kita?" tanya Alisha memotong.
Lelaki itu—entah Vedore atau Andro, aku tidak yakin—menatap Alisha dengan dahinya yang kian lama kian mengerut. "Maaf, aku tidak tahu apa maksudmu karena aku tidak mengingatmu."
"Tolong ingat lagi. Entah kau mencoba membohongiku atau kau benar-benar lupa. Kau dan aku, kita bermesra selama tiga tahun. Tidak mungkin satu tahun membuatmu melupakan aku begitu saja, 'kan?"
"Sayang," gumam Alisha. "apa kau memiliki hubungan dengan dua orang sekaligus? Aku dan dirinya?"
"Tidak." Lelaki itu menggeleng. "Sama sekali tidak, Alisha. Aku mencintaimu."
Air mataku turun. Aku terluka? Itu kalimat yang sangat tajam dan penuh dengan gerigi. Dia tidak lagi mencintaiku. Dia menemukan wanita lain. Wanita yang sama sekali tidak terlihat sama seperti aku sekarang. Wanita yang sangat sempurna, sedangkan aku tidak.
"Tidak," ujarku penuh sesak. Aku membalikkan tubuhku. Tidak ada yang boleh tahu jika aku menangis. "Kau mencintaiku," kukuhku. Aku tidak akan kalah hanya karena Alisha sedang mengandung. Aku tidak peduli. Ini perjuanganku jika aku memang yang dikhianati. "Kau, Andro, mencintaiku."
"Tapi namaku bukan Andro," gemas lelaki itu sambil membalikkan tubuhku kembali menghadapnya. "Namaku Vedore. Apakah aku mirip dengan seorang bernama Andro itu?"
"Kau kekasihku."
"Bukan," tegasnya. "Aku suami Alisha dan ayah dari calon anak kami."
"Kau dan aku selama tiga tahun." Aku mengusap air mataku cepat. Aku harus menang. Aku tidak boleh menangis. "Kau mengkhianatiku saat aku sedang berjuang melawan koma?"
"Kau sempat koma?" tanyanya. "Apakah kepalamu terbentur?"
"Apa maksudmu?" bentakku. Bagus. Sekarang aku membuat keributan. "Apa kau maksud aku sudah gila?"
"Bukan begitu," Kali ini Alisha yang berbicara. "Aku dan Vedore juga menjalin hubungan selama tiga tahun. Kami menikah satu tahun yang lalu. Aku dan dia, kami saling mencintai. Itu sebabnya semua ucapanmu terasa tidak masuk akal, Gichel."
"Satu tahun yang lalu?"
"Kapan kalian bertemu?" balas Alisha dengan pertanyaan.
"Hari Sabtu, tanggal sembilan bulan September. Sweater biru dengan motif..."
"Gichel," potong lelaki itu sekali lagi. Kenapa semua orang terus memotong ucapanku? "Coba kau ingat-ingat lagi. Apakah kau bertemu denganku sebelum kau jatuh koma atau saat kau sedang jatuh koma?"
∞
September 2017.
"Maaf," bisik lembut suara yang menggelitik telingaku. "Aku tidak sengaja melihatmu duduk sendirian. Can I join you?"
Aku mengangguk sebelum menjawab. "Sure."
Dia lelaki yang sangat tampan. Ah, bukan tampan. Menarik. Dia sangat menarik. Wajah sederhananya membuatku terpikat. Membuatku jatuh hati. Membuatku terikat dan aku tidak ingin memalingkan tatapanku walau hanya sebentar saja. Aku menyukainya. Dari setiap sudut ketampanannya dan sepertinya ia balas menyukaiku?
"Siapa namamu?" tanyanya lebih dulu.
"Gichel."
"Nama yang cantik." Lelaki itu mengulurkan tangannya dan tersenyum dengan amat manis. "Andro. Diandro, lebih tepatnya."
Namanya juga indah. Andro, artinya permana. Permen dan mempesona. Permen sama dengan manis. Lucu, 'kan? Nama yang sangat unik karena aku pernah membacanya sekali. Atau mungkin arti nama Andro yang satu ini berbeda? Apakah ia berbeda juga dengan laki-laki lainnya yang pernah aku kenal?
"Apa kau sudah memiliki kekasih?"
Sangat to the point. Apa maksud pertanyaannya itu? Apakah ini sebuah pertanyaan jebakan atau sekadar pertanyaan? "Belum," jawabku penuh percaya diri.
"Kau sangat cantik. Mengapa belum?"
"Apa kau perlu tahu?"
∞
November 2019.
Aku suka pantai. Apalagi sunset. Apalagi dengan siapa aku berdiri.
Ya, hari ini hari yang sangat spesial. Berbeda. Aku berdiri dari kejauhan dan mampu melihat siapa yang berdiri jauh di depanku. Andro. Diandro Vermesta. Lelaki yang sangat aku cintai. Dua tahun cukup dan aku tidak buta jika aku mencintainya. Aku sangat yakin akan hal itu dan aku tahu, ia juga merasakan hal yang sama. Dia mencintaiku. Setidaknya itu yang ia katakan hampir setiap hari. Jika ia mencintaiku.
"Will you marry me?" Standing in front of the beach house, dengan semua selera menakjubkan yang lelaki itu miliki, ia melamarku. Ia melamarku tepat di depan banyak mata, banyak kamera dan aku tidak bisa untuk menolak.
I don't even know what is it. Apakah itu sebuah balok huruf dengan petasan di sekelilingnya? Jujur, mataku tidak bisa terlepas dari sana dan lelaki yang kucintai, ia menyiapkan ini semua? I love him. That's for all the matter.
"I will marry you," jawabku dan aku yakin, pilihanku ini ialah pilihan terbaikku dalam sejarah.
∞
November 2020.
"Mengapa kau bertanya?"
"Jawab aku, Gichel. Apakah kali pertama kau bertemu denganku aku yang terlebih dahulu mendekatimu dan bertanya apakah aku boleh bergabung denganmu di meja yang kau tempati?" tanyanya sekali lagi dan aku mengangguk. Ya adalah jawabannya. "Apakah kau memperbolehkan aku duduk di sana dan aku bertanya padamu tentang kekasih?" Sekali lagi aku mengangguk. Ya, adalah jawabannya.
"Sayang," desah lembut Alisha membuat lelaki di hadapanku ini melunakkan tatapannya. "ada apa?"
"Satu lagi, Nona Gichel. Apakah ketika aku melamarmu, kita berada di pantai ini?"
Aku menggeleng dan mengangguk secara bersamaan. "Aku tidak ingat." Dan aku menjawab dengan jujur. "Aku tidak yakin." Bagaimana perlu aku berbohong? "Mengapa kau bertanya?"
"Apakah intinya adalah pantai? Di hari ketika aku melamarmu. Apakah pantai ini?"
Alisha merubah ekspresi wajahnya secepat pertanyaan itu menyerang gendang telingaku. "Sayang, kau bicara apa? Kau melamarku di sini."
"Ya, Alisha. Itu poinku. Entah apa yang ia alami selama koma, namun ia merasakan setiap hal yang kita alami berdua," Apakah itu benar-benar poinnya? Apakah aku semenyeramkan itu? Apakah benar perasaanku padanya dan perasaannya padaku tidak nyata? Apakah selama ini aku hanya memerankan peran Alisha saja di dalam kehidupan mereka? Apa-apaan ini? "sebelum pernikahan kita."
"Apa?" ujarku serempak dengan Alisha.
"Ketika aku melihatmu waktu itu, Alisha, aku tidak benar-benar melihatmu. Aku ingat sekarang." Lelaki itu mengacak wajahnya dan menatapku seakan bersalah. "Aku melihat wanita ini. Tapi ternyata itu kau."
Tidak. Ini tidak benar. Penjelasan lelaki itu sama sekali tidak masuk akal.
"Intinya, Gichel, apa pun perasaan kita di dalam ingatanmu itu tidak benar. Kau menggantikan posisi Alisha dalam ingatanmu dan sekarang ketika kau bangun, itu sebabnya kau mengira aku berselingkuh."
Tidak masuk akal. Tidak, tidak. Ini tidak boleh terjadi. Bagaimana bisa?
"Gichel, kau harus mengembalikan ingatanmu dengan utuh. Tidak akan ada aku di sela-sela ingatanmu itu."
"Apa?" Bibirku kaku. Hanya satu kata itu yang mampu kuucapkan dalam bentuk bisikan. Aku tidak percaya. Bagaimana bisa?
"Kau dan aku, kita adalah sebuah imaji—yang entah bagaimana—, kau ciptakan."
∞
September 2017.
"Apa kau perlu tahu?" tanyaku sembari melirik ponselku. Oh, tidak ada pesan masuk. Hari Sabtu, 9 September 2017. Hari yang kucatat dalam sejarah hidupku, aku bertemu dengan seorang lelaki yang penuh dengan keceriaan dan cinta. Apa sekarang aku sudah jatuh cinta?
"Gichel! Bangun!"
Tunggu. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Tidak ada seorang pun yang kukenal di sini dan siapa kiranya yang akan memanggilku kalau begitu? Aku mencubit lenganku sendiri. Aw, sakit. Itu artinya, aku tidak bermimpi 'kan?
"Ada apa?" tanya Andro melihat kerutan di dahiku.
"Gichel, kau harus berjuang. Kau dengar mama?"
Tidak. Aku yakin itu suara ibuku. Tapi di mana dia? Apakah dia ada di tempat ini? Apakah dia mengikutiku sampai ke mari? Di mana dia? Aku tidak bisa melihatnya. Sejauh mataku memandang, tidak ada satu orang pun yang melihat ke arahku selain Andro. Apakah aku bermimpi? Tapi jika aku mencubit lenganku sendiri dan aku merasakan sakit, apakah itu benar bermimpi?
"Gichel..."
"Tidak," ujarku dengan cukup lantang hingga mengejutkan separuh isi restoran tempatku menikmati makan siangku. Tidak, tidak. Jika ini mimpi, aku tidak ingin ini semua pergi. Andro, aku ingin bersamanya. Bisakah aku tetap tinggal hingga esok? Aku yakin memiliki masa depan yang indah bersamanya. Apakah bisa aku tetap tinggal?
∞
November 2019.
"I will marry you."
"Really?"
"Yes, I am." Aku memeluknya dengan kedua tanganku. Aku mencintainya. Dia sangat romantis dan dia adalah segala yang aku inginkan dalam hidupku. "Apakah kau berjanji akan menikahiku, Andro? Atau kau akan melarikan diri setelah hari ini?"
Andro menggelengkan kepalanya dengan tegas. Sangat khas. "Aku tidak akan ke mana-mana, Gichel. You and I, we're meant to be together."
"Gichel, apakah kau akan membuka matamu?"
"Dokter, Gichel mengerjapkan matanya."
"Gichel, apakah kau sudah sadar?"
"Gichel?"
"Gichel, tetap buka matamu, Sayang."
"Gichel, bangun!"
∞
Apakah kau tahu ada sesuatu yang salah dalam ingatanmu? Sesuatu yang tidak berjalan benar. Sesuatu yang melenceng dari jalur. Sesuatu yang akan menyebabkan banyak sekali kekacauan ketika kau tidak segera membenarkannya. Apakah kau tahu apa yang paling menyakitkan di atas segala kesalahan yang kau hasilkan sendiri? Di atas segala imajinasimu sendiri?
Aku tahu.
Yiska Visia Aurelia Chrissy
Penulis sering dikenal sebagai Aurelia Chrissy. Lahir di Magelang, 13 Pebruari 2000. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKWS) Salatiga, Jawa Tengah. Aktif menulis novel, cerpen, dan puisi. Penulis bisa dihubungi melalui Instagram @checha_ chrissy dan Email aureliachrissy@gmail.co
Mau Tulisanmu Kami Muat?
Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai